METROPOLITAN - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah terus menguat hingga mencapai Rp14.729, sore kemarin. Level itu merupakan tertinggi dalam tiga tahun terakhir namun masih kalah dari rekor Rp14.855 yang terjadi pada 24 September 2015. Namun pelemahan mata uang ini masih dianggap belum mengkhawatirkan. Tekanan akibat kondisi perekonomian global dan domestik membuat nilai tukar rupiah itu dianggap biasa saja. "Itu pelemahan wajar di tengah masih begitu besarnya tekanan terhadap rupiah, baik dari global maupun domestik," kata Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah, Kamis (30/8/2018). Dari sisi global, rupiah tertekan mulai dari arah kebijakan Bank Sentral AS, The Fed, yang akan kembali menaikkan suku bunga, krisis perekonomian di beberapa negara dan perang dagang AS vs China. Sementara dari sisi domestik ada sentimen negatif datang dari semakin lebarnya defisit neraca dagang RI. Ada indikasi defisit neraca dagang RI hingga akhir tahun mendekati 3%. Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah sebelumnya menjelaskan tekanan yang terjadi pada rupiah dipicu faktor eksternal. Yakni revisi data Produk Domestik Bruto (PDB) AS kuartal II. "Tekanan terhadap rupiah dipicu revisi data PDB AS triwulan II, dari 4,1% menjadi 4,2%. Langkah PBOC memperlemah mata uang Yuan di tengah negosiasi sengketa dagang AS dan China yang belum tercapai, serta melemahnya mata uang Argentina peso dan lira Turki," kata Nanang. Ia menyebut hari ini Bank Indonesia berada di pasar untuk memastikan pelemahan rupiah tidak cepat dan tajam. Bank Indonesia juga masuk ke pasar Surat Berharga Negara (SBN) untuk melakukan stabilisasi. (de/feb/run)