berita-utama

Kasus Kekerasan Anak Naik Di Bogor

Selasa, 8 Januari 2019 | 08:36 WIB

METROPOLITAN - Menyandang status kota layak anak tingkat madya pada puncak peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2018 silam, nyatanya tak jadi jaminan turunnya angka kekerasan terhadap anak di Kota Bogor. Penghargaan yang kala itu diberikan langsung Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise kepada Kota Bogor, rupanya berbanding terbalik dengan realita yang ada. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kota Bogor, angka kekerasan terhadap anak pada 2018 mengalami kenaikan yang cukup signifikan sebanyak 30 persen dari 2017 lalu. Hal tersebut tentu menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor yang katanya menyandang status kota layak anak untuk berperan aktif dalam menekan laju pertumbuhan angka tersebut. Ketua KPAI Kota Bogor Dudih Syiaruddin mencatat kasus kekerasan terhadap anak pada 2017 berjumlah 30 kasus, sedangkan 2018 mengalami peningkatan menjadi 46 kasus. “Data itu berdasarkan tingkat kasus itu sendiri. Kalau kasus ringan dan konsultasi saja, sengaja tidak kami masukkan dan kami hitung,” kata Dudih kepada Metropolitan, kemarin siang. Dari sekian banyak kasus yang ditangani, sambung Dudih, kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan keluarga hingga orang terdekat merupakan kategori kasus yang menjadi primadona yang ditangani Dudih selama kurun waktu dua tahun terakhir. “Sejak dua tahun lalu kami berdiri, kasus kekerasan seksual kepada anak adalah kategori kasus tertinggi yang kami tangani selama ini,” bebernya. Hal senada dikatakan Komisioner Bidang Pornografi dan Cyber Crime KPAI Kota Bogor Sumedi. Selain kasus kekerasan, intimidasi dan bully di lingkungan sekolah juga masih menjadi salah satu kasus yang marak terjadi di wilayah Kota Hujan, khususnya di beberapa sekolah negeri. “Intimidasi, bully hingga kekerasan pemukulan juga masuk kriteria kasus yang sering kami tangani selama ini,” paparnya saat ditemui Metropolitan, kemarin siang. Disinggung soal klasifikasi usia korban, secara garis besar untuk kasus kekerasan seksual didominasi anak dengan rentan usia SD hingga SMP. Sementara kasus intimidasi dan bully terjadi pada anak SMA. Medi menambahkan, dalam kurun waktu satu pekan, sekitar tiga hingga lima kasus kerap ditangani beserta rekan lainnya di KPAI Kota Bogor. “Kalau dirata-rata, setiap satu pekan ada sekitar tiga kasus yang kami tangani. Tentu ini angka yang cukup serius,” katanya. Karena itu, Dudih berharap semuanya selalu bersinergi demi menekan angka kekerasan terhadap anak di wilayah Kota Bogor khususnya. Ia juga menilai kerja sama, kolaborasi hingga koordinasi setiap lembaga sangat penting perannya dalam mencegah meroketnya angka kekerasan terhadap anak. “Intinya setiap dinas harus bekerja sama dan saling berkoordinasi dengan baik, apalagi dinas yang memang memiliki tugas dan fungsi serupa dengan kami. Semoga pada 2019 ini kita semua beserta para dinas yang ada dapat berkolaborasi dan bersinergi dengan baik demi menekan angka kekerasan terhadap anak di Kota Bogor,” harapnya. Wakil Ketua DPRD Kota Bogor Sopian mengaku sangat prihatin masih adanya kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Kota Bogor. Padahal Pemkot Bogor meraih penghargaan kota layak anak tingkat madya. Jika setiap tahun kasus kekerasan terhadap anak meningkat, tentu ini menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak, terutama keluarga dalam membimbing anak. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemkot Bogor bisa mengambil langkah cepat, salah satunya bisa dengan pembinaan di sekolah. “Jika setiap tahun angka kekerasan anak di Kota Bogor meningkat, bisa menggugurkan predikat layak anak,” ujar politisi Gerindra itu. Menurutnya, terjadinya kekerasan terhadap anak diakibatkan beberapa faktor. Bisa dikarenakan keluarga yang kurang harmonis atau pornografi. Intinya menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak, terutama keluarga dalam membimbing anak. “Belum bisa mendapatkan predikat kota layak anak karena setiap tahun ada kenaikan tingkat kekerasan terhadap anak. Yang jadi pertanyaan, apakah KPAI mengetahui hal tersebut sebelum Kota Bogor mendapatkan predikat tersebut,” ujarnya. Ketua Komisi IV Ahmad Ramdoni mengaku prihatin dengan kondisi yang terjadi. Ia menilai perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap penanganan kasus kekerasan anak. Termasuk mencari tahu penyebab adanya kenaikan kasus ini. “Sangat ironis Kota Bogor yang sudah memiliki Perda Kota Layak Anak dan Perda Ketahanan Keluarga tapi justru terjadi peningkatan kekerasan terhadap anak,” kata Ramdoni. Secara pribadi, ia sendiri mengaku tidak paham tentang standar kelayakan yang disematkan Kementerian PPPA terhadap Kota Bogor sebagai kota ramah anak. “Saya juga belum terlalu paham tentang standar kelayakan itu. Bisa jadi karena Kota Bogor lebih kecil jumlah kekerasannya dibanding kota atau daerah lain. Tapi yang terpenting kita para pelaksana pemerintahan harus bisa meminimalisasi kekerasan tersebut,” terangnya. (ogi/ads/c/feb/run)

Tags

Terkini