METROPOLITAN - Sama halnya seperti organisme, virus dengue juga berevolusi secara alami. Hal itu seperti yang disampaikan peneliti senior nyamuk dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kemenristekdikti, R Tedjo Sasmono. Menurutnya, hal itu merupakan salah satu ciri virus RNA yang cepat mengalami mutasi. ”Tetapi mutasi virus dengue tidak selalu menyebabkan virulensi,” kata Tedjo.
Menurutnya, hal itu bisa terjadi karena virus harus ‘mengatur’ virulenada teori kompensasi, di mana sinya supaya tidak membunuh inangnya. Apabila banyak inang yang mati, maka penyebaran virus itu sendiri akan terhambat. ”Namun sejauh pengetahuan kami yang meneliti genetika virus dengue di Indonesia, kami belum berhasil menemukan mutasi virus dengue yang menyebabkan meningkatnya keparahan penyakit di Indonesia,” ujar Tedjo. Sementara itu, peneliti nyamuk dari Departemen Biologi Universitas Hasanuddin, dr Syahribulan mengatakan, saat ini virus dengue yang dikenali ada empat strain yakni Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Infeksi salah satu strain atau serotipe akan menimbulkan antibodi serotipe lain berkurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai. Sayangnya, orang yang tinggal di lingkungan endemik dengue dapat dengan mudah terinfeksi tiga atau empat serotipe sepanjang kehidupan. ”Kalaupun ada strain baru (Den-5) di alam, (keberadaannya) belum terungkap,” kata Syahribulan. Di sisi lain, munculnya pertanyaan apakah gejala yang disebabkan virus dengue saat ini berbeda dengan masa lalu ditanggapi R Tedjo Sasmono. Menurutnya, meski berevolusi, gejala keparahan penyakit dengue pada dasarnya sama seperti di masa lalu. ”Mungkin memang jumlah pasien parah lebih banyak. Namun secara klinis seharusnya akan sama gejalanya, hanya mungkin tingkat keparahan akan lebih tinggi,” katanya. Tedjo menjelaskan, karena gejala yang muncul sama, penanganan DBD juga pada dasarnya sama seperti sebelumnya. ”Kementerian Kesehatan pernah menerbitkan pedoman tata laksana DBD dan sampai saat ini pedoman tersebut masih dipakai para dokter dalam menangani DBD,” ujar Tedjo. Sekadar diketahui, menurut tata laksana DBD Kementerian Kesehatan, infeksi virus dengue sudah ada di Indonesia sejak abad ke-18, seperti dilaporkan seorang dokter berkebangsaan Belanda, David Bylon. Awalnya infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya dikenal sebagai penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Namun sejak 1952, infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD di Manila, Filipina. Wabah itu kemudian menyebar ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia dan Indonesia. Pada 1968, penyakit DBD yang menyebar di Surabaya dan Jakarta memakan korban jiwa dengan angka tinggi. (kom/rez/run)