METROPOLITAN - Jelang pemilihan presiden (pilpres), kemunculan KTP milik Warga Negara Asing (WNA) sontak mencuri perhatian. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 111 Warga Negara Asing (WNA) di Cianjur, Kota dan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, memiliki KTP WNA atau Kartu Izin Tinggal Tetap (Kitap). Dari catatan Kantor Imigrasi Kelas II Non TPI Sukabumi, sebanyak 40 WNA tinggal di Kabupaten Sukabumi, 16 orang di Kota Sukabumi dan 55 orang di Kabupaten Cianjur. Rinciannya, WNA asal Tiongkok sebanyak 28 orang, Korea Selatan 16 orang, Australia tujuh orang, Pakistan enam orang, Singapura lima orang, Yaman lima orang, Arab Saudi lima orang dan Kuwait dua orang. Sisanya WNA berasal dari Tunisia, Bangladesh, Kanada, Brazil, Kamerun, Belanda, India, Britania Raya, Malaysia, Amerika Serikat, Turki, Taiwan dan negara lainnya. Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Non TPI Sukabumi, Nurudin, menjelaskan para WNA memiliki KTP WNA itu memang diterbitkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil). “Mereka (WNA, red) mendapatkan Kitap memiliki sejumlah kondisi. Seperti ikut suami atau istri, melakukan pekerjaan, karena menanam modal atau aktivitas lainnya yang legal, atau ada anak yang ikut dengan orang tuanya,” paparnya, Selasa (26/2/2019). Ia menuturkan, dalam aturan itu disebutkan WNA yang memiliki izin tinggal tetap wajib melaporkan kepada instansi pelaksana paling lambat 14 hari sejak diterbitkan izin. Instansi Disdukcapil di daerah menerbitkan KK dan KTP. “Dokumen kependudukan untuk WNA ini berbeda dengan WNI. Dalam kolom kewarganegaraan disebutkan warga dari negara mana WNA tersebut berasal. Mereka tidak berhak ikut dalam pemilu,” tegasnya. Berdasarkan aturan, jelas Nurudin, WNA maksimal bisa tinggal paling lama lima tahun dan bisa diperpanjang. Soal kemunculan KTP elektronik milik warga Tiongkok, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo angkat bicara. Politikus PDIP itu memastikan sang pemilik kartu identitas tersebut tak bisa memilih di pemilu 2019. ”Begini ya, orang dapat KTP-el itu sangat-sangat selektif sekali. Dia harus terdata sesuai KK, RT berapa, RW berapa, kelurahan mana, kecamatan mana, tidak akan mungkin seseorang yang menerobos, tidak tinggal di daerah itu mendapatkan KTP-el, itu satu,” kata Tjahjo di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Selatan, Selasa (26/2). Kendati ditemukan KTP elektronik berwarganegara asal China, jelas Tjahjo, kartu identitas tersebut dipastikan tidak bisa digunakan untuk memilih pada pemilu 2019. Sebab, pemilih itu harus terdata di TPS di mana ia tinggal. ”Harus jelas, rumah nomor berapa, RW berapa. Clear. Tidak akan mungkin seorang pun bisa menerobos masuk menggunakan hak pilih di TPS yang dia bukan warga RT-nya,” ucap Tjahjo yang memastikan bahwa KTP-el tersebut palsu. ”Ya itu palsu, itulah mungkin hanya digunakan untuk apalah. Tapi kalau untuk transaksi, perpajakan, apalagi perbankan dan hak pilih itu tidak bisa,” ungkapnya. Sementara itu, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Viryan Aziz memastikan KTP-el dengan nama Guohui Chen tidak terdafrar dalam Nomor Induk Kependudukan (NIK). KPU pun mengaku sudah melakukan pengecekan. ”Jadi Bapak Guohui Chen dengan NIK itu tidak ada dalam DPT pemilu 2019,” ujar Viryan di kantor KPU, Jakarta, Selasa (26/2). Viryan mengaku saat KPU mengecek NIK di KTP-el Guohui Chen, yang keluar bukan nama dirinya. Melainkan warga Cianjur dengan nama Bahar. Sehingga KTP-el itu palsu. Artinya, pria bernama Guohui Chen tidak bisa menggunakan hak pilihnya di pemilu 17 April 2019. Sebab, WNA dan juga NIK itu diketahui bukan atas nama dirinya. ”Jadi prinsipnya yang bisa menggunaan hak pilih adalah WNI dan (Gouhui Chen, red) tidak masuk DPT,” tegasnya. (jp/feb/ run)