METROPOLITAN - Sungguh sangat miris melihat generasi muda di Bogor saat ini. Remaja di Bogor TERANCAM belakangan ini begitu beringas hingga tidak segan mencabut nyawa teman sebayanya. Seperti kasus pertarungan ala ’gladiator’ yang dilakukan pelajar di Bogor hingga berujung kematian. Hal itu membuat daftar perkara kekerasan yang dilakukan anak semakin tinggi. Kurun lima tahun terakhir setidaknya ada 180 perkara yang telah disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Cibinong dan PN Kota Bogor. Perkara tersebut meliputi pembunuhan, penganiayaan, pengeroyokan dan beberapa yang lainnya. Sejak Agustus 2014, PN Cibinong mencatat ada 142 perkara pidana kasus yang melibatkan anak dan sudah ada putusan. Dari perkara tersebut, 12 di antaranya merupakan perkara pengeroyokan yang menyebabkan kematian. Menyusul sembilan perkara pembunuhan yang dilakukan anak-anak di bawah umur. Seperti pertarungan ’gladiator’ yang dilakukan AH (17) dan MR (13) pelajar di Ciampea. AH harus meregang nyawa lantaran kalah bertarung dengan MR. AH harus menerima bacokan dari MR di bagian kepala. Hakim Madya Pratama di PN Cibinong Ben Ronald Situmorang mengakui perkara yang melibatkan anak-anak di bawah umur cukup tinggi. Hal itu lantaran wilayah Kabupaten Bogor cukup luas, begitu juga dengan kultur masyarakat yang memengaruhi tingkah laku para remaja Dari ratusan perkara yang masuk PN Cibinong, tutur Ben, sanksi yang diberikan kepada anak-anak di bawah umur lebih ringan dibanding orang dewasa. Meskipun mengalami kesamaan kasus dan pasal yang disangkakan, putusan hakim tersebut dipengaruhi dua poin. Pertama, secara aturan putusan untuk pelaku anak jumlahnya separuh dari jumlah hukuman kepada orang dewasa, dengan pasal yang sama. “Lebih ringan. Misalnya kasus yang sama, Untuk dewasa tuntutan bisa sepuluh tahun. Nah, untuk anak itu lima tahun. Selain itu, hukuman maksimal untuk kasus pidana anak hanya sampai sepuluh tahun penjara,” jelasnya kepada Metropolitan. Selain itu, sambungnya, untuk kasus pidana melibatkan anak tidak mengenal hukuman mati dan hukuman pidana seumur hidup. Sedangkan dari segi umur, yang disebut pidana melibatkan anak merupakan anak di bawah usia 18 tahun pada saat dirinya melakukan tindak pidana. Kedua, pertimbangan hakim dari segi sosiologis. Biasanya hakim memiliki kebijakan atau pertimbangan berbeda-beda tiap kasus. Termasuk berbeda pendekatan. “Namun secara umum kalau melihat unsur ini, anak dianggap sebagai generasi penerus bangsa yang harus dilindungi dan punya waktu serta kesempatan untuk memperbaiki diri. Ini meringankan,” katanya. Dari data yang dihimpun Metropolitan, sejak Agustus 2014 hingga akhir 2018, PN Kabupaten Bogor menangani 142 kasus yang melibatkan anak hingga ada putusan. Rata-rata kasus yang disidangkan di angka 20-30 lebih kasus. Pada 2015 saja ada 35 perkara, lalu diikuti kenaikan pada tahun berikutnya dengan jumlah 37 kasus. Pada 2017, ada penurunan sepuluh perkara dengan hanya menyidangkan 27 perkara. Kemudian ada lonjakan hingga sebelas perkara pada 2018, dengan total kasus mencapai 38 perkara yang ditangani PN Kabupaten Bogor. Tak hanya di Kabupaten Bogor, kejahatan dan kekerasan yang dilakukan anak-anak di bawah umur ternyata cukup banyak terjadi di Kota Bogor. Tindak pidana senjata api atau benda tajam cukup mendominasi dengan tujuh perkara, begitu juga dengan perkara pengeroyokan menyebabkan kematian dengan tiga perkara. Panitera Pidana PN Kota Bogor Jaya menjelaskan bahwa lingkungan pendidikan di Kota Bogor cukup baik sehingga jumlah kasus kekerasan yang dilakukan anak cukup minim. Untuk peradilan anak, menurut Jaya, di PN Kota Bogor didominasi kasus perlindungan anak dengan jumlah 13 perkara. Sanksi yang diberikan terdakwa anak setengah dari sanksi yang diberikan orang dewasa. Hal tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. “Secara umum penanganan kasus yang melibatkan anak di bawah umur tentu berbeda dengan kasus orang dewasa,” paparnya. “Contoh, kalau orang dewasa hukumannya 20 tahun, untuk anak (yaitu, red) sepuluh tahun. Secara umum, ada pengurangan hukuman sebanyak 50 persen dari hukuman orang dewasa. Untuk lebih rincinya silakan buka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Saya tidak hafal detailnya. Tapi umumnya memang berbeda dari hukuman orang dewasa,” imbuhnya. Sementara itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Daerah Kota Bogor Sumedi menjelaskan mengenai tindak kasus kekerasan anak di Kota dan Kabupaten Bogor pada 2017. Pihaknya mengaku baru menerima laporan 25 kasus. Sementara pada 2018 naik menjadi 65 kasus. ”Laporan kasus yang ditangani KPAI bervariasi. Di antaranya bullying dari mulai kasus kekerasan fisik, kasus kekerasan seksual, penelantaran anak, kasus perebutan hak asuh anak, kasus anak kecanduan pornografi, kasus pornografi, kasus pencabulan hingga sodomi,” terangnya. Untuk menekan angka kekerasan yang dilakukan anak maupun diterima anak, KPAID terus menggenjot sosialisasi antikekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah ataupun permukiman warga. Hingga Maret 2019, KPAID telah menerima laporan 15 kasus. ”Bersama DPMPPA dan P2TP2A, kami bekerja sama untuk menekan tindak kekerasan terhadap anak atau kekerasan yang dilakukan oleh, bahkan dengan Dinas Pendidikan Kota dan Kabupaten Bogor,” jelasnya. Ia menuturkan, beberapa kasus kekerasan anak banyak dipicu dari akibat perceraian orang tua. Melalui KPAI pusat, pihaknya pun mendorong Kabupaten Bogor untuk segera membentuk KPAID Kabupaten Bogor. “Ada beberapa kasus anak akibat korban perceraian, yang biasanya anak kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari ayah dan ibu kandungnya. Karena tinggal biasanya sama kakek dan neneknya, sehingga ia mencari perhatian dari luar lingkungan,” katanya. Sementara itu, Wakil Kepala Unit Satuan Reserse Kriminal (Reskrim) Polresta Bogor Kota AKP Surya mengatakan, secara garis besar dari 53 kasus kriminal yang menimpa anak, status anak sebagai tersangka paling dominan mewarnai kasus kekerasan terhadap anak di Kota Hujan. Namun saat disinggung soal persentase antara anak menjadi korban dan anak menjadi pelaku, Surya mengaku tidak bisa memastikan hal tersebut. Sebab, itu mesti mengacu pada data yang ada di Reskrim Polresta Bogor Kota. “Kalau untuk Kota Bogor sendiri, anak menjadi korban yang paling dominan. Untuk persentase pastinya saya tidak berani berbicara karena harus membuka data dahulu,” ujarnya. Sementara itu, Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) pada Satreskrim Polresta Bogor Kota, Iptu Frida Hidayanti, seperti enggan membeberkan fakta sebenarnya saat Metropolitan mencari tahu terkait kasus kekerasan yang dilakukan anak. Namun ia tidak menampik kekerasan yang dilakukan anak cukup tinggi. Khususnya kasus tawuran pelajar yang kerap terjadi di Kota Bogor hingga berujung kematian. “Waduh, kalau soal itu ada di polsek,” pungkasnya. (ogi/ ryn/e/mam/run)