METROPOLITAN - Rasa kecewa terlihat jelas dari raut wajah kedua orang tua Joni dan Jeni, di kala mendengar putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Cibinong yang membebaskan terdakwa Hendra Iskandar (41), atas perlakuan cabul kepada kedua anaknya. Dengan mata berlinang, ibunda Joni dan Jeni menuturkan kisah bejat Hendra Iskandar terhadap kedua putrinya. “Kalau memang keadilan hanya milik orang berduit, kami sebagai warga miskin minta sedikit saja keadilan untuk anak kami,” ujar J kepada Metropolitan di kediamannya, Desa Pakansari. Tak bisa dipungkiri, kasus yang menimpa Joni dan Jeni belakangan ini memang tengah hangat diperbincangkan. Putusan PN Cibinong yang dipimpin Hakim M Ali Askandar pada 25 Maret 2019 silam seolah menyimpan tanda tanya besar. Sebab, proses persidangan diwarnai sejumlah kejanggalan. Proses persidangan yang hanya dihadiri satu hakim, serta Joni dan Jeni yang merupakan korban di bawah umur harus memberi pernyataan tanpa boleh didampingi orang tua, adalah sejumlah kecil kejanggalan yang terjadi selama proses persidangan. Tak hanya itu, pelaku yang sudah mengaku perbuatannya ditunjang bukti visum yang kuat, malah membuat Hendra Iskandar divonis bebas oleh hakim dengan pertimbangan tidak adanya saksi yang melihat saat kejadian berlangsung. Ibu korban semula tidak menyangka bahwa Hendra Iskandar tega melecehkan kedua anak tercintanya. Bahkan di mata keluarga korban, sosok Hendra dikenal sosok yang rajin beribadah. Namun siapa sangka, di balik ibadahnya yang rajin tersimpan kebusukan dan kejahatan. Ia juga bercerita, sejak setahun lalu Jeni yang saat itu masih TK, kerap mengeluhkan sakit pada bokongnya. Hal itu berangsur terjadi hingga Jeni duduk di kelas dua SD. Kecurigaan J memuncak saat menemukan Jeni selepas bermain dari rumah Hendra terlihat capek dengan napasnya yang berat dan dengan celana terbalik. Ditambah saat J membuka baju Jeni, dirinya menemukan bulu kemaluan di sejumlah tubuh Jeni saat J hendak memandikannya saat itu. Ia pun bertanya kepada Jeni, namun Jeni masih enggan bercerita. terus memuncak lantaran saat J bertanya, Jeni seperti marah dan ketakutan seperti ada yang disembunyikan. J pun merayu Jeni dan menjanjikan sejumlah hadiah agar Jeni mau bercerita dan jujur kepada J. Jeni pun menceritakan bahwa Hendra yang merupakan tetangganya sudah mencabulinya dengan cara memasukkan kemaluannya melalui lubang bokongnya. Terkejut mendengar pengakuan sang anak, J langsung menanyakan sudah seberapa sering Hendra melakukan hal tersebut. Karena terlalu sering, Jeni hanya menjawab banyak, dengan nada polos dan lugu sambil berkata, “Jangan bilang ayah”. J bersama suaminya, C, yang tak terima langsung melaporkan Hendra kepada RT setempat. “Hari itu juga saya langsung telepon suami saya untuk segera pulang dan melaporkan kejadian itu ke Pak RT. Kita diarahkan sama Pak RT untuk melakukan visum terlebih dahulu sebagai bukti soal kasus ini,” paparnya. Mendengar kabar tersebut, keluarga Hendra langsung mendatangi RT dan meminta mediasi dengan pihak keluarga korban. Tak hanya itu, keluarga Hendra juga sempat mengancam C dan J bakal mengadukan keduanya kepada pihak kepolisian dengan gugatan pencemaran nama baik. Mendengar hal itu, Joni yang merupakan kakak Jeni, mendukung orang tuanya mengusut kasus tersebut. Sebab, dirinya juga mengalami hal sama dengan sang adik. “Dari situ Joni mengaku juga sering digauli Hendra. Kami sebagai orang tua kaget dan tidak terima kalau kedua anak kami jadi korban pelecehan seperti ini. Tanpa pikir panjang, kami langsung lapor polisi,” bebernya. Sementara C merasa sangat terpukul saat mengetahui Jeni, gadis kecil lugunya, itu sudah menjadi korban pencabulan sejak TK. Sementara Joni sedari kelas enam SD. “Saat ini Jeni kelas dua SD, Joni kelas dua SMP. Berarti kedua anak saya sudah tahunan menjadi korban pelecehan,” ujar C dengan nada pilu. Kendati sudah menjalani proses hukum, C dan J merasa tidak terima dengan putusan pengadilan yang membebaskan Hendra dari jeratan hukum. Bebasnya Hendra dari jeratan hukum tentu memberikan pukulan yang sangat mendalam bagi pihak keluarga korban. Terlebih Hendra merupakan tetangga korban, yang hanya terpisah satu rumah dari kediaman Joni dan Jeni. Kelakuan Hendra yang terkesan tanpa dosa, jelas tergambar dari raut wajahnya saat berjalan di lingkungan rumah korban. Akibat kejadian tersebut, baik Joni maupun Jeni, hingga kini mengalami depresi yang luar biasa pasca kejadian tersebut. Bahkan Joni hanya bisa menyendiri dengan gawainya di kamar tanpa bergaul dengan teman sebayanya. Hal itu juga yang terjadi kepada sang adik, Jeni. Dirinya mengalami trauma yang mendalam kala melihat ataupun mendengar suara motor besar, sebab pelaku memiliki motor besar. Sementara Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari kasus pencabulan Joni dan Jeni, Roro Dian, membenarkan adanya sejumlah kejanggalan pada persidangan. Menurutnya, saat sidang berlangsung, orang tua dari korban diperintah hakim untuk meninggalkan tempat sidang. Ia juga membenarkan bahwa proses sidang hanya dipimpin satu hakim. Dalam persidangan, Roro memaparkan, pelaku juga telah mengakui melakukan tindakan pencabulan kepada korban. “Ketika Jeni bersaksi, memang benar orang tua diminta keluar oleh hakim, dengan alasan takut malu. Pelaku mengakui perbuatannya mencabuli anak korban, Joni. Tapi tidak mengakui terhadap Jeni,” paparnya. Saat ditanya soal kejanggalan dalam persidangan, Roro menilai dalam aturan maupun kode etik, hal tersebut tidak diperbolehkan. Namun Roro enggan berkomentar banyak soal hal tersebut. “Untuk kejanggalan yang lain dalam persidangan, cukup saya yang tahu ya Mas,” singkatanya. Terpisah, Kepala Seksi Intel Kejaksaan Negeri Cibinong, Kabupaten Bogor, Regie Komara, mengatakan bahwa tersangka didakwa dengan dakwaan akumulatif. Dakwaan pertama dengan melakukan tipu muslihat dan serangkaian kebohongan, serta membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya. “Dakwaan pertama pelaku dikenakan Pasal 81 Ayat 2 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Junto Pasal 64 Ayat 1 KUHP,” ungkapnya. Dakwaan kedua, pelaku sengaja melakukan ancaman kekerasan dan melakukan hal tersebut secara berulang kali kepada korban. Dalam hal ini pelaku juga sudah melakukan sesuatu yang memberatkan atas hukuman bagi dirinya, sebab perbuatan tersebut berdampak negatif pada masa depan kedua korban. “Untuk dakwaan kedua pelaku, kami jerat dengan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Junto Pasal 64. Atas pertimbangan tersebut, kami menuntut majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 14 tahun dan denda sebesar Rp30 juta subsider enam bulan kurungan,” bebernya. Mengetahui pelaku bebas atas semua tuntutan yang diajukan, juga dengan sejumlah kejanggalan, Regie juga mengaku pihaknya saat ini tengah berencana bakal melakukan upaya hukum. Pembatalan atas putusan pengadilan (kasasi, red) adalah langkah yang bakal diambil pihaknya. “Karena putusannya bebas. Maka kami akan lakukan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu dekat ini,” tandasnya. (ogi/d/mam/run)