berita-utama

Muncul Lagi setelah 13 Tahun

Senin, 17 Juni 2019 | 09:30 WIB
RAMAI: Warga memadati acara festival kuluwung di Kecamatan Sukamakmur.

METROPOLITAN - Kuluwung karbit. Begitulah masyarakat Kampung Cikeruh, Desa Sukamulya, Kecamatan Sukamakmur, menyebut meriam kayu yang terbuat dari pohon randu. Sebelum lahirnya kuluwung dari bahan dasar pohon randu, kuluwung di Desa Sukamulya hampir sama dengan kuluwung pada umumnya yang berbahan dasar dari bambu rotan maupun bambu andong.

Tradisi itu sudah ada sejak 1975. Awalnya besaran kuluwung di Sukamulya sama dengan kuluwung karbit di tempat lain, yakni hanya sebilah kayu biasa. Seiring berjalannya waktu, tepat pada 1980, kuluwung karbit Sukamulya mulai berevolusi sesuai gengsi yang melekat di masyarakat. Ada yang memakai bambu andong, pohon pepaya, aren hingga pohon kawung. Wakil Ketua Panitia Festival Kuluwung Desa Sukamulya Muhamad Kusnadi HM menceritakan, selama 13 tahun festival budaya turun-temurun ini terhenti lantaran sempat tidak diizinkan.

“Karena dulu itu kami pakai istilah ngadu kuluwung. Nah, bahasa itu tidak boleh. Sekarang dikemas menjadi pesta kuluwung, festival. Sehingga jadi resmi dan ada surat izinnya. Sebelumnya mah tidak,” katanya kepada awak media. Kusnadi menceritakan awalnya festival tersebut dimulai sejak 1980, saat masih bernama adu karbit atau adu kuluwung antara Desa Sukamulya dengan Desa Sukamakmur.

Kemudian berlanjut diadakan kembali sebelas tahun kemudian di masa Pejabat Sementara (Pjs) Kepala Desa (Kades) Sudarwin. Jeda empat tahun, adu kuluwung kembali digelar pada 1996, di masa kepemimpinan Kades Abdul Somad. “Setelah itu baru diadakan lagi pada 2006. Setelah itu tradisi ini terhenti selama 13 tahun sampai akhirnya 2019 bisa diadakan kembali. Lebih meriah karena berkat surat izin. Ada donatur dan sponsor yang memeriahkan acara,” paparnya.

Selain itu, lanjutnya, pada tahun ini juga pesta kuluwung kini bukan hanya milik dua desa di Kecamatan Sukamakmur saja, tetapi warga dari desa lain seKecamatan Sukamakmur, bahkan warga dari kecamatan lain. “Ada dari Jonggol, jadi pesta beberapa desa dan kecamatan di Bogor Timur,” paparnya.

Ia pun membandingkan helaran tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika dulu hanya menghabiskan uang Rp50-60 juta, dengan bantuan donatur dan sponsor, festival dengan puluhan pohon randu sebagai dasar kuluwung itu menelan kocek hingga Rp521 juta untuk Desa Sukamulya saja. Demi 1,2 ton karbit dan 10 ribu gulung petasan selama dua hari. Jika digabung dengan Desa Sukamulya, bisa mencapai Rp1 milar. “Belum lagi tiba-tiba ada yang ngasih bahan atau itu di luar anggaran panitia,” imbuhnya. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang tidak sebesar 2019, festival tahun ini juga membuat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor kini melirik potensi wisata dari acara budaya daerah ini sebagai aset dan produk wisata budaya dari Timur Kabupaten Bogor.

Ia berharap pemkab menaruh perhatian lebih agar festival tersebut semakin berkembang dan mendatangkan potensi wisata di Sukamakmur. “Ini jadi catatan pariwisata Bumi Tegar Beriman. Tentu kita ingin terus berlanjut, jadi produk wisata kebudayaan dari Sukamakmur, aset Bogor Timur yang mungkin tidak ada di kecamatan lain. Apalagi pengaruh media sosial juga luar biasa. Dulu kecil-kecilan, sekarang luas sampai ke telinga warga Bogor Raya secara luas,” beber Kusnadi.

Bahkan, dari helaran yang berlangsung dua hari itu, warga setempat bisa merasakan keuntungan tersendiri. Penjaja makanan, mainan, pakaian hingga beragam jenis jajanan dan kebutuhan lainnya yang terdiri dari warga sekitar, berhasil mendulang pundi-pundi rupiah selama gelaran bertajuk ’Hayu Urang Jaga Sareng Lestarikeun Seni Budaya Sunda’ tersebut. Salah seorang pedagang kopi dan makanan, Ahmad Zaelani, mengaku selama rangkaian gelaran ngadu kuluwung karbit, mulai Minggu hingga Minggu (9-16/6), ia beserta rekannya berhasil meraup pendapatan sekitar Rp1 juta dalam satu hari.

”Selama acara ini, penghasilan yang kami dapatkan meningkat hampir sepuluh kali lipat. Biasanya satu hari hanya Rp100 sampai 200 ribu, semenjak ada even ini kami mendapatkan untung hampir Rp1 juta per hari,” katanya kepada Metropolitan, kemarin. Kendati merasa bising dengan kerasnya suara dentuman dari kuluwung karbit berdiameter 10 meter itu, ia merasa tak masalah demi mendapatkan rezeki dari festival tersebut, sebab banyak masyarakat sekitar yang berkunjung.

Bahkan, pihaknya juga sangat mendukung jika kegiatan ini dijadwalkan rutin di setiap tahunnya oleh pemerintah desa dan kecamatan setempat. Ia juga berharap festival tersebut dimasukkan agenda rutin tahunan. ”Tentu saya sangat setuju kalau kegiatan ini menjadi kegiatan rutin tahunan dan masuk kalender kegiatan desa. Kan bagus untuk mendongkrak perekonomian warga. Lumayan lah hasilnya, walaupun satu tahun satu kali,” ucapnya.

Sementara itu, Kades Sukamulya Komar mengaku tidak dapat memastikan bahwa festival tersebut bisa masuk agenda rutin tahunan desa. Sebab, dirinya harus berkoordinasi dengan sejumlah pihak, baik internal maupun eksternal. ”Semuanya harus berdasarkan kajian terlebih dahulu. Baik kajian di internal desa maupun dengan pihak luar desa. Intinya saya tidak bisa mengambil keputusan sendiri, semuanya harus berdasarkan kajian yang matang dengan semua pihak,” akunya.

Meski begitu, orang nomor satu di Desa Sukamulya itu meyakini dengan adanya festival ngadu kuluwung karbit dapat memberi dampak positif bagi desanya. Tak hanya dari sektor ekonomi, festival tersebut juga dipercaya dapat mendongkrak pariwisata desa. ”Desa kami ini memiliki potensi alam yang cukup banyak, terutama air terjun. Saya yakin dengan adanya festival ini dapat meningkatkan kunjungan wisatawan ke desa. Tentu ini akan menjadi pertimbangan utama untuk memasukkan festival ini ke agenda resmi tahunan desa,” tutupnya. (ogi/ryn/d/feb/run)

Tags

Terkini