METROPOLITAN - Pemerintah telah memberi lampu hijau untuk menaikkan premi bagi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dari kelompok masyarakat miskin yang disebut sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Sejalan dengan itu, pemerintah terus menggodok usulan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) untuk menaikkan iuran peserta non- PBI. Kenaikan iuran peserta program JKN-KIS diharapkan dapat mengurangi defisit BPJS Kesehatan, sekaligus dituntut meningkatkan kualitas pelayanannya. BPJS Kesehatan juga diharapkan memperbaiki tata kelola untuk menjaga keberlangsungan program JKN-KIS.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan proses kajian mengenai besaran kenaikan iuran peserta PBI sampai saat ini masih terus berjalan. Pekan depan, pembahasan akan dilakukan bersama DPR.
“Nanti akan dilihat (kenaikan iuran peserta PBI, red). Minggu depan kan kita juga dengan DPR. Sebentar lagi juga akan diumumkan. Saya tidak akan menyampaikannya sekarang, nanti kita lihat,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengungkapkan alokasi anggaran dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 untuk program JKN menjadi Rp48,8 triliun, meningkat sekitar 82% dibanding outlook APBN 2019 sebesar Rp26,7 triliun. Peningkatan anggaran itu bertujuan menjamin keberlanjutan program layanan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat. Peningkatan iuran diharapkan bisa membantu persoalan defisit yang kini dialami BPJS Kesehatan.
Ketika ditanya tentang iuran bagi peserta non-PBI, Sri Mulyani menyatakan pemerintah masih menggodok hal tersebut dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan membayar masyarakat dan juga kebijakan-kebijakan lain yang perlu diperbaiki.
Sementara itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, program JKN-KIS merupakan program nasional yang dijalankan bersama-sama oleh berbagai kementerian/lembaga, termasuk pemerintah daerah. Program JKN merupakan milik bersama yang capaian keberhasilannya tergantung dari banyak faktor dan sinergi kementerian/lembaga.
“Pemerintah tetap kompak dengan selalu mengadakan rapat koordinasi untuk mencari akar masalah pengelolaan BPJS Kesehatan,” katanya. Pada kesempatan itu, Fachmi berjanji pihaknya juga akan melakukan perbaikan total dalam pengelolaan program JKN.
Terpisah, Komisioner DJSN Achmad Ansori menyambut baik sinyal pemerintah yang akan menaikkan iuran peserta PBI. Apabila iuran peserta PBI jadi ditetapkan Rp42.000, berarti untuk pertama kali pemerintah mengikuti usulan DJSN. Dua kali penetapan premi sebelumnya, yakni 2014 dan 2016, pemerintah selalu menetapkan di bawah angka yang diusulkan DJSN.
Sebelumnya, DJSN mengusulkan iuran peserta PBI Rp36.000, tetapi pemerintah hanya menetapkan Rp19.225, lalu naik Rp23.000. Akibatnya program JKN-KIS selalu terlilit defisit.
Ansori mengatakan, kenaikan premi peserta PBI akan berdampak positif terhadap program JKN-KIS. Dalam jangka pendek, kenaikan iuran diharapkan bisa mengatasi cash flow rumah sakit. Selama ini, tunggakan BPJS Kesehatan ke hampir semua rumah sakit rata-rata selama empat sampai enam bulan. Hal itu menjadi beban bagi rumah sakit dan berdampak pada industri lain yang terkait, seperti obat-obatan, bahan medis habis pakai dan sarana rumah sakit.
Dari hasil pemonitoran dan evaluasi DJSN di sejumlah daerah diketahui beberapa rumah sakit menunggak selama berbulan-bulan ke perusahaan obat. Karena itu, perusahaan obat mewajibkan pembayaran di muka sebelum obat-obatan dikirim. Akibatnya, terjadi kekosongan obat di sejumlah fasilitas kesehatan, bahkan beberapa rumah sakit swasta meminta pasien mencari obat dan membayar sendiri (out of pocket).
Untuk mengurangi defisit secara signifikan, kenaikan premi juga harus diberlakukan untuk semua segmen peserta, termasuk Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri dan Pekerja Penerima Upah (PPU).
Untuk besarannya, DJSN mengusulkan PBI disamakan dengan peserta mandiri kelas III sebesar Rp42.000, naik dari Rp25.500 (naik Rp16.500 atau 65%), kelas II dari Rp51.000 menjadi Rp80.000 (naik Rp29.000 atau 56,8%) dan kelas I dari Rp80.000 menjadi Rp120.000 (naik Rp40.000 atau 50%).Kenaikan iuran BPJS membuat Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto angkat bicara.