METROPOLITAN - Penyandang tunanetra kerap dicap sebagai tukang pijat atau tukang kerupuk. Namun pandangan tersebut berhasil dipatahkan Ramaditya Adikara. Pria yang akrab disapa Rama itu terpilih menjadi dosen tetap pengajar komputer dan kepribadian di sebuah kampus di Indonesia.
Rama menceritakan perjalanannya hingga bisa menjadi pengajar layaknya dosen lain. Terlahir dengan kekurangan, tidak membuat Rama putus asa. Sejak kecil, Rama ingin menjadi guru. Beruntung, orang tua Rama selalu mebimbing dan mendukungnya hingga akhirnya bisa menyelesaikan studi S2 di salah satu perguruan tinggi di Jakarta.
Ia menggeluti dunia teknologi. Berkat keuletannya, ia menjadi komposer game yang mengantarkannya menjadi narasumber di beberapa acara di stasiun tv. ”Alhamdulillah cita-cita saya kesampaian,” ujarnya.
Rama mendapat pesan pendek dari Suarna yang merupakan trainer, sekaligus pemilik LP3I di Pondokgede, Bekasi, yang berisi tawaran menjadi dosen di kampus tersebut. Rama pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Ia resmi menjadi dosen pada awal Maret 2012.
”Saya juga mengikuti proses wawancara dan dinilai memang layak serta lulus menjadi dosen. Saat itu saya memberi kuliah umum untuk seluruh mahasiswa, mulai dari tingkat satu hingga tiga,” ujar Rama yang juga seorang motivator.
Ia mengaku tidak ada kesulitan ketika mengajar di kampus. Rama mengungkapkan, perkembangan dunia teknologi membuat pekerjaan mudah. ”Saya memasang aplikasi-aplikasi khusus di notebook, semisal aplikasi pembaca layar. Dengan aplikasi ini, saya bisa mengetahui isi notebook dengan mendengarkan informasi yang telah diubah ke bentuk suara,” katanya.
Saat presentasi materi pun dijalankan tanpa asisten, murni menggunakan PowerPoint dan Youtube. ”Saat ini semua serba digital, jadi saya berikan tugas juga bentuk digital. Begitu juga tugas dari mahasiswa,” terangnya.
Tantangan terbesar baginya sebagai penyandang tunanetra saat berkomunikasi dengan mahasiswa. Untuk mengenal mahasiswa, ia menghafal lebih dari seratus jenis suara. ”Memang susah, namun bisa diakali dengan menandai mahasiswa yang paling banyak bicara, lalu bertahap ke mereka-mereka yang lebih pendiam,” ungkapnya. (idn/mam/run)