Imbas pandemi virus corona atau Covid-19 yang tengah melanda Indonesia nyatanya begitu berasa di Bogor. Bagaimana tidak, sedikitnya 3.290 guru madrasah yang tergabung dalam Perkumpulan Guru Madrasah Indonesia (PGMI) Kota Bogor harus gigit jari lantaran tidak menerima honor selama para siswa belajar di rumah. HONOR yang selama ini diperoleh dari iuran siswa harus mandek akibat kebijakan pembatasan sosial yang meliburkan kegiatan sekolah. Sebanyak 3.290 guru non-Pegawai Negeri Sipil (PNS) di semua jenjang di Kota Bogor, terdiri dari 1.035 guru yang berasal dari 135 Raudhatul Athfal (RA), 935 guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) dari 64 sekolah dan 920 guru dari 48 Madrasah Tsanawiyah (MTs). Sementara Madrasah Aliyah (MA) dari 18 sekolah memiliki 400 guru. ”Karena belajar dari rumah itu tidak dapat gaji. Kan gaji mengandalkan iuran. Kalau seperti ini, ya beginilah dampaknya. Semua guru non-PNS di hampir semua jenjang, mengalami hal yang sama pastinya,” kata Ketua PGMI Kota Bogor Hasbullah kepada Metropolitan. Selama pemberlakuan Sekolah Jarak Jauh (SJJ) yang dimulai pada Maret lalu, sambungnya, orang tua siswa tidak melakukan pembayaran iuran. Sehingga pihak sekolah kesulitan memenuhi gaji para guru non-PNS. ”Saya mendapat konfirmasi dari para kepala sekolah, mereka merasa kesulitan mencarikan honor bagi guru non-Aparatur Sipil Negara (ASN). Karena mereka-mereka kan guru yayasan, dan yayasan tidak mendapat pemasukan,” katanya. Terkait dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Hasbullah mengaku bahwa sekolah masih memperoleh bantuan tersebut. Namun, besaran yang diberikan hanya 30 persen dari jumlah keseluruhan. ”Terkait BOS reguler, madrasah masih tetap dapat. Namun untuk honorarium hanya 30 persen yang bisa digunakan untuk honorarium. Jadi sangat tidak cukup dan tidak memadai,” klaimnya. Mirisnya, sejauh ini para guru belum mendapat bantuan dari jaring sosial untuk masyarakat yang terdampak Covid-19. Hasbullah mengaku telah meminta seluruh guru untuk mendaftarkan diri ke RT maupun RW setempat. Namun ia mengkalim tak satupun yang mendapat respons positif. ”Ada yang menjawab kalau guru tidak masuk yang didata, karena mereka beranggapan bahwa profesi guru itu ASN. Padahal mayoritas guru madrasah adalah honorer/bukan ASN. Ada juga yang menjawab bahwa masa pendaftaran sudah ditutup jauh-jauh hari,”ujarnya. Hal serupa dialami Pengurus Daerah (PD) Mathlaul Anwar Kabupaten Bogor, Abdul Azis Sarnata. Menurutnya, imbas dari merebaknya virus corona ini tidak hanya dirasakan para guru. Tetapi yayasan swasta pun ikut merasakan imbas dari penularan virus corona tersebut. ”Apalagi di Kabupaten Bogor sendiri, guru honor lebih 20 ribu guru madrasah dari berbagi jenjang,” kata Azis. Menurut Azis, untuk madrasah swasta di Kabupaten Bogor, di antarnya Raudhatul Athfal sebanyak 415 lembaga, Madrasah Ibtidiyah 629 lembaga, Madrasah Tsanawiyah 328 dan Madrasah Aliyah 96 lembaga. ”Azis menyebutkan para guru dengan rata-rata mendapatkan honor di bawah upah Rp500 ribu. Bahkan tidak sedikit guru-guru yang punya sampingan selain menjadi guru. Bahkan dengan adanya seperti ini, para guru menggunakan anggaran yang ada. Artinya menggunakan anggaran dana BOS, meski agak keterlambatan bahkan juga tidak maksimal. Belum lagi katanya pemkab bantuan yang hingga saat ini belum tersalurkan,” beber Azis. Keresahan guru-guru honorer ini nyatanya bukan tanpa alasan. Sebab, honor yang selama ini diperoleh dari iuran siswa mandek akibat kebijakan SJJ atau sekolah di rumah. Sehingga bisa dikatakan bahwa kondisi guru-guru honorer di Kota Bogor sekarang berada di ambang ekonomi kelas bawah karena tidak memiliki pemasukan. Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim mengatakan, di tengah-tengah kondisi pandemi corona, memang perekonomian mengalami kemunduran. Untuk itu, Pemerintah Kota Bogor sampai saat ini terus berupaya untuk memadupadankan bantuan dari pemerintah pusat, Provinsi Jawa Barat dan menyelaraskan dengan data yang saat ini dimiliki Pemerintah Kota Bogor. ”Namun pada akhirnya harus realistis dan menyesuaikan dengan ketersediaan anggarannya. Karena kalau semua ditanggulangi pemerintah uangnya nggak cukup. Tapi kita data saja dulu,” kata Dedie kepada Metropolitan, Kamis (16/4). Terpisah, Kepala Dinsos Kota Bogor Anggraeny Iswara menyebutkan ada dua data penerima bantuan sosial, yakni dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan non-DTKS. DTKS artinya data kemiskinan yang ada di Kota Bogor yang memang sudah ada dalam sistem Kementerian Sosial (Kemensos) dengan jumlah KK miskin 71.111 KK yang dibantu dari APBN melalui Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) atau sembako. “DTKS ini diintervensi dari APBN dengan program PKH dan program sembako, tapi tidak semua yang dibantu karena anggaran APBN terbatas. Jadi yang dibantu ada 35.923 KK untuk sembakonya dan PKH ada 29.466 KK,” terangnya. Menurutnya, antara program PKH dengan BPNT ada yang beririsan, sehingga ketika di verifikasi dan validasi (verval), jumlah yang sudah dibantu dari APBN adalah 41.845 KK. Kemudian pemerintah pusat melakukan penambahan jumlah masyarakat yang mendapatkan bantuan sebanyak 30.010 KK. “Jadi DTKS (71.111 KK, red) semuanya klir dibantu dari APBN dan APBD provinsi,” katanya. Kemudian ada bantuan sosial dari Pemprov Jawa Barat. Anggraeny menerangkan, berdasarkan hasil dari verval jumlah yang akan dibantu untuk Kota Bogor sebanyak 8.046 KK. “Mulai kemarin disalurkan melalui Kantor Pos dengan jumlah Rp500 ribu yang terdiri dari bantuan langsung sembako senilai Rp350 ribu dan uang tunai Rp150 ribu,” terangnya. Anggraeny melanjutkan, untuk non-DTKS, sementara ini jumlahnya ada 43.531 KK yang berasal dari pendataan wilayah, kemudian di verval menjadi 41.838 yang ber-NIK dan sisanya tidak ber-NIK 1.693 KK. Selanjutnya yang tidak ber-NIK diusulkan ke provinsi dan ternyata provinsi memberikan kuota 31.285 KK. ”Kemudian sisa data yang diusulkan yang tidak terkaver kita tambah dengan yang tidak ber-NIK atau (jumlah usulan 43.531 KK-kuota 31.285 KK=12.246 KK, red), nanti sisanya (12.246 KK, red) kita akan bantu melalui APBD Kota Bogor dari bansos tidak terencana,” jelasnya. Ia menyebutkan nantinya per-KK yang tidak menerima bantuan dari APBN maupun APBD provinsi akan mendapatkan Rp600 ribu per bulan selama tiga bulan (April-Juni, red) dengan total anggaran pengajuan Rp22 miliar dari APBD Kota Bogor. ”Untuk realisasinya masih menunggu persetujuan dari TAPD,” jelasnya. Selain itu, pemerintah pusat akan memberikan bantuan khusus bahan pokok kepada 2,6 juta jiwa warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) di saat pandemi virus corona. Bantuan tersebut masing-masing sebesar Rp600 ribu per bulan selama tiga bulan ke depan. ”Saat ini kami masih mendata, sementara sudah ada 100 ribu lebih orang calon penerima bantuan ini di Kota Bogor,” tuturnya. Ia menegaskan penerima bantuan sosial di Kota Bogor tak boleh ganda, sehingga pihaknya akan memverifikasi dan validasi berdasarkan NIK, by name, by address. Dalam membantu sesama, pihaknya juga akan mendirikan dapur umum yang dipusatkan di kantor Dinsos. Per harinya ada 450 paket nasi selama 30 hari. ”Jadi siapa saja yang membutuhkan? Seperti tukang becak, ojek online, pemulung, silakan untuk mengambil nasi bungkus gratis ini,” pungkasnya. (dil/ogi/mul/d/mam/run)