METROPOLITAN - Setelah kurang lebih sembilan bulan berhenti melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengagetkan publik dengan mengamankan Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo. Tangkap tangan KPK terhadap Edhy dilakukan di Bandara Soekarno Hatta pada Rabu (25/11) dini hari. Atas penangkapan itu, KPK resmi menetapkan Edhy Prabowo sebagai tersangka dalam kasus suap izin ekspor benih lobster. ”Tujuh tersangka atas nama EP, SAF, APM, SWD, AF dan AM, dan sebagai pemberi SYD,” kata Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango. Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri menjelaskan Edhy ditangkap tim penyidik KPK terkait kasus dugaan tindak korupsi izin ekspor benih lobster atau benur. Edhy ditangkap penyidik KPK di Bandara Soekarno Hatta. ”Yang bersangkutan diduga terlibat korupsi dalam penetapan izin ekspor baby lobster,” kata Firli. Ia mengatakan, Edhy Prabowo ditangkap tim penindakan KPK usai kembali dari Honolulu, Hawai, Amerika Serikat. Selain Edhy, istri dan pegawai KKP turut ditangkap dalam operasi tersebut. ”Tadi malam Menteri KKP diamankan KPK di Bandara 3 Soetta saat kembali dari Honolulu,” katanya. Firli menuturkan, Edhy dan jajaran KKP serta sang istri tengah menjalani pemeriksaan intensif oleh penyidik KPK. KPK memiliki waktu 1x24 jam untuk menentukan status hukum Edhy Prabowo dan mereka yang diamankan. ”Sekarang beliau (Edhy, red) di KPK untuk dimintai keterangan. Nanti akan disampaikan penjelasan resmi KPK. Mohon kita beri waktu tim kedeputian penindakan bekerja dulu,” ujarnya. Sementara itu, di balik penangkapan Edhy Prabowo yang dilakukan KPK, memunculkan fakta baru. Edy disinyalir menerima suap dari berbagai perusahaan pengekspor benih lobster senilai Rp9 miliar. Suap itu diduga tidak diberikan dalam bentuk uang tunai. Namun melalui kartu debit ATM sebuah bank pelat merah. Berdasarkan informasi, kartu debit ATM tersebut dipegang ajudannya. Saat Edhy bertugas ke Amerika Serikat, kader Partai Gerindra itu kemudian mengambilnya dengan membelanjakan berbagai barang mewah seperti tas Hermes, jam tangan mewah dan berbagai barang-barang mewah lainnya. Dari berbagai pembelian barang mewah tersebut, Edhy menghabiskan uang sekitar Rp1 miliar, dari total Rp9 miliar yang didapatkan dari berbagai perusahaan yang akan mendapatkan jatah ekspor benih lobster. Terkait penerimaan kartu debit ATM tersebut, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri membenarkannya. Kendati demikian, ia belum mau menyebut berapa jumlah nominal uang dalam ATM tersebut. “Turut diamankan sejumlah barang, di antaranya kartu debit ATM yang diduga terkait tindak pidana korupsi, dan saat ini masih diinventarisir oleh tim,” kata Ali Fikri, Rabu (25/11). Untuk diketahui, pada Juli lalu, kebijakan melegalkan ekspor benih lobster memang sempat menuai beragam pro dan kontra. Salah satunya datang langsung dari Susi Pudjiastuti yang juga sebelumnya menjabat menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019. Meski demikian, KKP mengaku memiliki alasan kuat membuka kemungkinan keran ekspor bibit lobster. Namun rencana Menteri Edhy itu berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan Susi. Sebab, saat menjabat, Susi sangat melarang ekspor benih lobster untuk melindungi bibit lobster dan meningkatkan kesejahteraan nelayan. Di sisi lain, KKP angkat bicara mengenai penangkapan Edhy Prabowo bersama istri dan sejumlah pejabat tinggi KKP terkait dugaan kasus ekspor benih lobster. Kementerian yang dipimpin Edhy itu menyatakan belum dapat berkomentar lebih lanjut lantaran masih menunggu informasi resmi dari KPK. “Kami masih menunggu informasi resmi dari pihak KPK mengenai kondisi yang sedang terjadi,” ucap Sekretaris Jenderal KKP, Antam Novambar, dalam keterangan tertulisnya, kemarin. Soal pendampingan kepada pejabat KKP yang terjaring operasi KPK, Antam menyatakan lembaganya bakal mengikuti prosedur dan ketentuan yang berlaku. Ia mengaku KKP menghargai proses hukum yang sedang berjalan di lembaga antirasuah tersebut. Ia juga mengimbau masyarakat tidak berspekulasi mengenai proses hukum yang sedang berjalan. “Mari kita menunggu bersama informasi resminya seperti apa. Dan biar penegak hukum bekerja secara profesional,” ujarnya. (jp/lip/tir/rez/run)