METROPOLITAN - Polemik Maklumat Kapolri tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI), disikapi Polri. Polri mengklaim poin 2 huruf d pada Maklumat Kapolri Nomor Mak/1/I/2021 yang menjadi kritikan dari komunitas pers ini tidak ditujukan bagi pemberitaan media massa. Poin 2 huruf d tersebut berbunyi, ”Masyarakat tidak mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial”. “Dalam maklumat tersebut di poin 2d, tidak menyinggung media,” kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono dalam keterangannya, Minggu (3/1). ”Sepanjang memenuhi kode etik jurnalistik, media dan penerbitan pers tak perlu risau karena dilindungi UU Pers, kebebasan berpendapat tetap mendapat jaminan konstitusional,” sambung Argo. menjelaskan konten yang dilarang apabila bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila, mengancam NKRI serta Bhinneka Tunggal Ika. “Seperti mengadu domba, provokatif, perpecahan dan SARA, maka negara harus hadir untuk melakukan penindakan dan pencegahan,” ucapnya. ”Selama konten yang diproduksi dan penyebarannya tidak bertentangan dengan sendi-sendi berbangsa dan bernegara, dapat dibenarkan,” lanjutnya. Argo mengklaim Polri menjadi salah satu institusi yang aktif mendukung kebebasan pers. Salah satu wujudnya adalah lewat penandatanganan MoU dengan Dewan Pers untuk mendukung kinerja pers agar sesuai UU. Sebelumnya diberitakan, poin 2 d di Maklumat Kapolri tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan FPI, menuai kritik dari komunitas pers karena dinilai mengancam tugas jurnalis. Komunitas pers yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Sekjen Pewarta Foto Indonesia (PFI), Forum Pemimpin Redaksi (Pemred) dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) itupun meminta agar poin 2 huruf d tersebut dicabut. Pasalnya, Maklumat Kapolri dalam Pasal 2 d itu dinilai berlebihan dan tidak sejalan dengan semangat kita sebagai negara demokrasi yang menghargai hak masyarakat untuk memperoleh dan menyebarkan informasi. Soal ini tertuang jelas dalam Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan. “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia,” isi pernyataan sikap tersebut. Kemudian, maklumat ini mengancam tugas jurnalis dan media, yang karena profesinya melakukan fungsi mencari dan menyebarkan informasi kepada publik, termasuk soal FPI. Hak wartawan untuk mencari informasi itu diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang isinya menyatakan, “(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi,” isi maklumat itu, yang akan memproses siapa saja yang menyebarkan informasi tentang FPI, juga bisa dikategorikan sebagai “Pelarangan penyiaran,” yang itu bertentangan dengan Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Pers. Untuk itu, komunitas pers mendesak kapolri mencabut Pasal 2 d dari maklumat itu karena mengandung ketentuan yang tak sejalan dengan prinsip negara demokrasi, tak senafas dengan UUD 1945 dan bertentangan dengan Undang- Undang Pers. “Mengimbau pers nasional untuk terus memberitakan berbagai hal yang menyangkut kepentingan publik seperti yang sudah diamanatkan oleh Undang-Undang Pers,” tandas isi pernyataan sikap tersebut. (kom/rez/run)