Peran juri menjadi salah satu yang terpenting dalam kontes burung. Dari Indragiri Hulu, Riau, terdapat salah seorang juri perempuan bernama Amelia Adilla Triana Isyandra. AMEL, begitu ia biasa disapa, besar di keluarga pehobi burung. Ayahnya merawat perkutut. Hobi itu menurun ke kakak nomor dua, yang memelihara kacer, lovebird, dan kenari. ”Kakak pelihara burung untuk dilombakan,” kata bungsu tiga bersaudara pasangan Afrianto dengan Sukarnawati Hajir itu. Terbiasa mendengar kicauan burung setiap pagi, Amel pun jadi ikut sayang. Ia hafal kicauan tiap burung. ”Kalau ada salah satu (burung, red) yang mati, ya sampai nangis,” katanya terkekeh. Bukan hanya ayah dan kakak, pamannya pun menekuni bidang yang sama. ”Om sering bikin kompetisi dan jadi juri,” ujarnya. Setiap kali pamannya membuat even, Amel dilibatkan. Mulai mengurus tiket hingga diminta belajar menjadi juri. “Setelah lulus SMA, mulai belajar ngejuri,” kata mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Islam Nurul Falah Air Molek, Indragiri Hulu, Riau, itu. Awalnya, Amel sempat ragu. Sebab, dunia kicau didominasi kaum pria. Namun, dengan support orang-orang terdekat, Amel memantapkan diri belajar secara autodidak. Mulai mendengarkan suara burung hingga mempelajari cara penilaian kejuaraan melalui YouTube dan artikel. Ia juga menimba arahan dari juri senior. Amel mengingat, pengalaman perdananya jadi juri pada Agustus 2017. ”Di-brifing sama korlap, jenis burung ini cara menilainya begini. Jenis satunya lagi gimana. Langsung turun ke lapangan. Alhamdulillah tidak mengecewakan,” kenang perempuan 22 tahun itu. Dari pengalaman pertama tersebut sampai sekarang, Amel masih bertahan menjuri. Berbagai pengalaman didapatnya. Mulai juri independen, ikut bertugas di final Liga OPPI Riau, hingga ikut serta dalam terbentuknya organisasi Radjawali Indonesia DPD Riau selama dua tahun. “Setelah itu memutuskan kembali jadi juri independen lagi,” kata Amel yang kerap dipanggil Mbak Jura atau Buk Jur saat menjuri di lapangan. Namun, bukan hanya pengalaman manis yang didapatkan. Ada juga kejadian tidak mengenakkan. Pernah dimaki pemain sampai istri pemain. ”Berdebat ketika sesi penilaian, dibilang saya nggak bisa menjuri. Sempat nangis di lapangan,” ceritanya. Amel juga pernah menjuri di luar kota yang waktu tempuhnya enam jam perjalanan. Dari 21 kelas yang dilombakan, baru tujuh kelas, hujan turun amat deras. ”Hujan badai sampai gantangannya patah. Jadi, dana yang terkumpul dari hasil lomba cuma cukup untuk penyelenggaraan,” bebernya. Amel hanya mendapat biaya transportasi. ”Itu pun cuma seperlima dari ongkos yang saya keluarkan, hehehe,” ingatnya. Saat itu sebenarnya Amel ada Ujian Tengah Semester (UTS) di kampus. Ia merelakan tidak ikut UTS demi menjuri. ”Jadi dobel, pergi tugas nggak dapat honor, di kampus dapat nilai C. Tapi, nggak apa-apa, dijadikan pengalaman,” ucap pencinta lovebird dan murai batu tersebut. Apakah dari sisi ekonomi profesi juri kontes burung cukup menjanjikan? Menurut Amel, itu bukan termasuk faktor yang membuatnya bertahan di bidang kicau. Terlebih, selama masa pandemi, jarang ada perlombaan burung. Sebelum pandemi, dalam sepekan bisa menjuri hingga tiga kali. ”Ya bisa sih buat beli kuota dan skincare. Tapi, bukan dijadikan pendapatan utama. Buat saya lebih ke hobi,” tandasnya. (jp/feb/run)