berita-utama

Melihat Kegigihan Nelayan Pertahankan Orientasi Ekspor, Perlakuan Istimewa untuk si Ikan Bahan Sup di Tiongkok

Kamis, 21 Oktober 2021 | 10:10 WIB

Di perahu para nelayan Pangandaran yang rata-rata kecil, ada tangkapan-tangkapan bernilai tinggi yang menjadi primadona di berbagai negara. SENTUHAN angin pesisir menguatkan aroma laut yang sedari tadi menusuk-nusuk. Lantas, mengusik isi kepala untuk bertanya: nelayan berangkat melaut jam berapa? ”Nanti mulai jam 3 pagi,” kata Muham­mad Yusuf. Pria 60 tahun ter­sebut adalah satu di antara 5.000-an nelayan yang tinggal di Pangandaran, Jawa Barat. Ia sekaligus menjabat wakil ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) di kabupaten kampung halaman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Susi Pudjiast­uti tersebut. Ketuanya, Bu­pati Pangandaran Jeje Wira­dinata. Kami bertemu Yusuf pada Sabtu (9/10) di Koperasi Unit Desa (KUD) Minasari di Pan­tai Timur Pangandaran. KUD itu membawahkan tiga Tem­pat Pelelangan Ikan (TPI). Termasuk yang terbesar di Pangandaran: TPI Cikidang. Di kabupaten tempat sastra­wan Eka Kurniawan dibesar­kan itu, secara keseluruhan 13 TPI tersebar. TPI Cikidang yang paling ramai. TPI itu pula yang perputaran uangnya tertinggi. Mencapai Rp300 juta per hari. Bila TPI Cikidang digabung dengan dua TPI lain di bawah KUD Minasari, se­sekali perputaran uangnya bisa tembus Rp1 miliar per hari. Sejak kecil akrab dengan laut, Kang Usup –begitu Yusuf akrab disapa– amat mafhum seluk-beluk kehidupan nelayan Pangandaran. ”Di sini keba­nyakan nelayan kecil melaut pakai perahu kecil,” ujarnya. Mereka, seperti disebut Kang Usup tadi, mulai melaut dini hari. Sekitar pukul 03:00. Ke­mudian, para nelayan kem­bali pada jam 9 pagi. Mem­bawa hasil tangkapan ke pangkalan pendaratan ikan untuk langsung dijual di TPI. Siang menjelang sore, me­reka sudah bersiap melaut lagi. Mulai pukul 15:00 sampai pukul 21:00. Ya, dalam sehari mereka dua kali melaut. Pergi pulang, pulang pergi. Mereka adalah nelayan tradisional yang rata-rata mengandalkan perahu bermesin 15 PK. Panjangnya 11 meter dengan lebar badan perahu sekitar 1 meter. Pe­rahu kecil itu biasa diawaki dua atau tiga nelayan. Dengan perahu kecil itu pula, mereka menangkap hasil laut berkualitas ekspor. Baik ikan, lobster, udang, maupun hasil laut lainnya. Mereka sudah biasa mendar­atkan tangkapan dalam jum­lah kecil, tetapi bisa mengha­silkan jutaan rupiah sekali jalan. Keesokan paginya setelah bertemu dengan Kang Usup (10/10), kami sudah berada di TPI Cikidang. Dari pusat destinasi wisata di Pantai Ba­rat dan Pantai Timur Pang­andaran, jaraknya sekitar 4–5 kilometer. Selain TPI, di sana ada pang­kalan pendaratan ikan. Ratu­san perahu nelayan bersandar di sana. Seluruhnya beruku­ran kecil. Milik para nelayan dan kelompok nelayan. Ada yang murni milik sendiri, ba­nyak pula yang berasal dari bantuan pemerintah. Kami datang lebih awal un­tuk menyambut nelayan yang berangkat melaut dini hari. Kemudian, menjajal perahu yang bertolak menjelang sore. Saat kami tiba, TPI Ciki­dang masih sepi. Yang tampak hanya bebe­rapa petugas lelang. Mereka tengah duduk santai menung­gu nelayan berdatangan. ”Biasanya, jam 9 sampai jam 1 siang ada lelang,” ungkap Maryo, salah seorang petugas lelang. Ia mengungkapkan, dalam seminggu TPI Cikidang hanya libur satu hari: Jumat. Sele­bihnya, mulai Sabtu sampai Kamis, mereka buka untuk melelang hasil melaut para nelayan. Dua jam lebih menunggu, seorang nelayan datang mem­bawa beberapa boks styro­foam. Isinya adalah bawal putih. Maryo menyebut bawal putih sebagai salah satu ikan yang siap ekspor. Pasarnya, negara-negara di Asia. Harganya juga tinggi. Mulai Rp200 ribu sampai Rp400 ribu per kilogram. Bahkan bisa tembus Rp500 ribu sam­pai Rp600 ribu per kilogram. Itu harga khusus setiap Imlek. Setelah dikeluarkan dari boks styrofoam, bawal putih tang­kapan nelayan langsung di­timbang. Dipisahkan antara yang berukuran di atas 1 ki­logram dan di bawah 1 kilo­gram. Dipisahkan pula an­tara yang mulus dan ikan yang sudah tergores atau luka. Selain ukuran, kondisi ikan juga berpengaruh. Ikan yang memiliki luka tidak akan diki­rimkan ke luar negeri. Dari bakul, sebutan pembeli ikan di TPI, ikan-ikan itu dibawa ke gudang untuk dijual langs­ung kepada masyarakat atau pedagang di pasar ikan. Se­mentara, yang mulus langsung disiapkan untuk ekspor. Kian siang, kian banyak pula nelayan yang datang. Boks styrofoam pun terus bertambah. Kali ini isinya bukan hanya bawal putih. Ada yang membawa layur, ada juga cumi-cumi. Ada pula yang datang memanggul tuna. Ukurannya cukup besar. Ke­tika dilelang, tuna itu laku Rp38 ribu per kilogram. Dengan berat 73 kilogram, ikan tersebut terjual Rp2,7 juta. (jp/feb/run)

Tags

Terkini