berita-utama

Kisah Rendra Selamatkan Arsip Nasional, Butuh Perasaan, kalau cuma Scan Semua Orang Bisa

Selasa, 26 Oktober 2021 | 10:10 WIB

Jamuran, suara pita kaset menghilang, atau kertas dimakan rayap adalah sebagian kendala yang mengadang upaya penyelamatan arsip-arsip DKJ. Melihat foto-foto pertunjukan teater Rendra menjadi penyemangat berharga di tengah tumpukan aral itu. TANTANGAN yang dia hadapi tidak mudah. Pita kaset yang rusak atau jamuran, foto yang tak jelas lagi gambarnya, atau dokumentasi cetak yang war­na kertasnya sudah menguning. Belum lagi perkara terbatasnya fasilitas, dana, dan sumber daya manusia. Tapi, Esha Tegar Putra mengaku sangat menikmati tu­gasnya sebagai peneliti Komisi Arsip dan Koleksi Dewan Kese­nian Jakarta (DKJ). ”Old school memang, tapi asyik banget. Puas,” katanya kepada Jawa Pos, Kamis (21/10) pekan lalu. Apalagi ketika pria kelahiran Solok, Sumatera Barat, itu menemukan banyak ‘harta karun’ yang tersembunyi di antara tumpukan ratusan ribu arsip tersebut. Melihat foto-foto sekaligus membaca lembaran-lembaran peristiwa di masa lampau yang sebe­lumnya tidak dia ketahui in­formasinya. Misalnya, ketika menda­pati kliping berita atau ulasan dan foto-foto pentas seni dari tanah kelahirannya. ”Atau saat melihat foto-foto Bengkel Teater-nya (W.S.) Rendra,” kata Esha yang juga dikenal sebagai penyair sekaligus penggagas Padang Literary Biennale itu. Inventarisasi, restorasi, serta digitalisasi ribuan arsip DKJ dari berbagai disiplin seni itu sebenarnya berlangs­ung sejak 2019. Tapi, tidak selalu berlangsung tiap bulan. Adapun tahun ini berjalan mulai Juli sampai Desember nanti. Sejak awal berdiri pada 1968, DKJ menyimpan ratusan ribu warisan arsip analog yang berisi dokumentasi kegiatan, rekaman, dan data seniman. Ada yang berbentuk audio, foto, video, kliping, buku pro­gram, brosur, tiket, hingga poster pertunjukan seni yang pernah digelar. Juga koleksi karya seni dalam bentuk lu­kisan, karya kertas, dan objek trimarta dari para perupa yang pernah menggelar pameran di Galeri Cipta sejak 1971. Usia arsip-arsip itu yang semakin renta menyadarkan sejumlah pihak, khususnya Komisi Arsip DKJ. ”Kondisinya (arsip, red) sudah rawan. Di­gitalisasi itu ya salah satu cara menyelamatkannya,” ujar Ketua Komisi Arsip DKJ Farah Wardani saat dihubungi se­cara terpisah. Kebanyakan arsip yang harus diselamatkan itu dalam kon­disi memprihatinkan. Entah karena lapuk, jamur, atau dimakan rayap. ”Beberapa pita kaset suaranya juga nggak begitu jelas lagi,” kata Esha. Lebih dari 300 ribu arsip DKJ tercatat dan tertumpuk di dalam kardus-kardus. Tidak hanya berisi data atau doku­mentasi para seniman yang terlibat dalam acara-acara DKJ. Namun juga seniman lepas di daerah-daerah lain yang memiliki ciri khas. Ter­masuk pelaku seni yang boo­ming pada zamannya, antara lain pedangdut Inul Dara­tista dan grup musik Bimbo. Namun, menurut Esha, be­lum ada setengah dari total jumlah tersebut yang dapat didigitalkan. Itu disebabkan terbatasnya jumlah dana, fa­silitas, serta sumber daya manusia. ”Mungkin hanya sekitar 30 persen yang sudah dikerjakan,” jelasnya. Audio yang dulu direkam menggunakan kaset kini di­digitalkan dengan direkam ulang. Melalui sebuah alat tape yang disambungkan ke aplikasi di komputer sehing­ga bisa berubah menjadi for­mat MP3. Esha mengatakan, rata-rata total rekaman ter­sebut berdurasi 60–90 menit. Sementara itu, arsip-arsip cetak seperti foto diselamat­kan dengan cara di-scan. Jika telanjur rusak, cetakan fotonya harus dipindahkan ke dalam album baru. Lalu, disusun berdasar penataan awal. Karena itu, menurutnya, pekerjaan tersebut tak hanya memerlukan kemampuan teknis yang benar. Tetapi juga perlu menggunakan pera­saan terhadap kepedulian arsip. Mengedepankan kesabaran serta kehati-hatian. ”Harus orang yang aware dan paham (arsip-arsipnya, Red). Kalau cuma scan, siapa pun bisa mengerjakan,” terang Esha. Sementara itu, video yang dulu direkam dengan betamax dikerjakan khusus oleh ahli­nya. ”Ada tempat pengerjaan­nya sendiri karena memang perlu orang khusus,” jelas Esha. Digitalisasi arsip itu di­maksudkan untuk membuat metadata yang nanti terko­neksi dalam satu sistem di komputer. Dengan begitu, lanjut Esha, semua dokumen­tasi yang berbentuk foto, be­rita kliping, ulasan, dan lain­nya saling terkoneksi. Itu akan memudahkan ma­syarakat, terutama mereka yang memerlukan data-data tersebut, baik untuk kebutu­han pribadi maupun umum. ”Jadi, nanti kalau mau cari nggak makan waktu,” tutur penulis sajak, antara lain Nyanyi Sunyi dan Tahun Ke­cil, itu. Namun, dibutuhkan waktu tidak sebentar untuk menca­pai tujuan tersebut. Diperki­rakan bisa terwujud dalam 5–6 tahun ke depan. ”Semua bisa dicicil, bergantung SDM-nya juga. Karena ini bukan kerjaan teknis pustakawan aja, tapi berhubungan dengan IT (information technology),” paparnya. Ia juga berharap DKJ bisa memiliki ruang arsip tersen­diri yang layak alias memadai. Ber-AC untuk menampung koleksi lukisan dan kaset. Sirkulasi udara juga harus lancar supaya suhu ruangan tetap terjaga. Tidak terlalu dingin atau panas. Sebab, ruangan yang lembap beri­siko membuat arsip cepat berjamur. Kemudian, memisahkan ruangan arsip yang diperbo­lehkan diakses publik dan tidak. Sebab, terang Esha, tidak semua arsip seharusnya bisa diakses atau dilihat ma­syarakat luas. ”Jadi, itu me­mang mimpi kami. Semua memang harus difasilitasi supaya arsip ini terjaga dengan baik,” ujarnya. Sayangnya, menurutnya, pemerintah belum membe­rikan perhatian atau dukungan maksimal. Wawa, sapaan akrab Farah Wardani, juga berpenda­pat demikian. Ia mengaku pihaknya sudah mengajukan ke otoritas ter­kait sejak tahun lalu. Namun, hingga sekarang belum dite­mukan titik terang. ”Seperti­nya masih harus diupayakan. Kami harus memberi kesa­daran kepada pemerintah untuk memberikan SDM serta fasilitas,” papar Wawa. Sejauh ini, pihaknya me­nyiasati dengan bekerja sama bareng sejumlah institusi untuk merawat arsip-arsip tersebut. ”Sebab, kami me­nyadari DKJ tidak bisa berge­rak sendiri menyelamatkan ratusan ribu arsip tersebut,” tandasnya. (jp/feb/run)

Tags

Terkini