berita-utama

Sambangi Jejak Hidup Soekarno, Dari Tempat Dilahirkan hingga saat Indekos di ‘Dapur Nasionalisme’

Rabu, 22 Desember 2021 | 10:20 WIB

Roodebrug Soerabaia mengajak berkunjung ke lima tempat di Surabaya yang menjadi saksi kelahiran dan pertumbuhan Soekarno muda. Agenda itu bakal rutin dihelat dengan tema dan tempat berbeda-beda. ARISKA Dewi begitu saksama mendengarkan penjelasan tentang Koesno muda. Sesekali pandangannya tertuju pada catatan yang ditulis di ponsel miliknya. Dia mencatat berbagai hal yang menurutnya menarik di hampir setiap tempat di Surabaya yang dikunjungi. Mulai Hogere Burgerschool (HBS) yang kini menjadi Kan­tor Pos Kebon Rojo, SDN Alun- Alun Contong 1, tempat ke­lahiran Koesno di Jalan Pan­dean IV, Rumah Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto di Jalan Peneleh, hingga Gedung Nasional Indonesia. ”Sebenarnya dulu pernah ke sini, ke Peneleh. Tapi, beda, sekarang ada pemer­hati sejarahnya,” kata guru pariwisata SMKN 6 Surabaya itu di sela mengikuti tur Napak Tilas Jejak Soekarno di Sura­baya pada Minggu (19/12) yang juga diikuti Jawa Pos. Koesno Sosrodihardjo ada­lah nama lahir Soekarno, proklamator sekaligus presi­den pertama Indonesia. Putra Sang Fajar, demikian dia di­juluki, merupakan putra pa­sangan Soekemi Sosrodihar­djo dengan Nyoman Rai Srimben. Dia lahir di Jalan Pandean IV, sebuah gang di Peneleh, Kecamatan Genteng, Surabaya, pada 6 Juni 1901. ”Lokasi kelahiran dipercaya kuat di Pandean. Tempat ke­lahirannya ada kaitan erat dengan ayahnya, Soekemi, yang saat itu bertugas menga­jar di Hollandsch Indische School (HIS, sekolah setingkat SD, Red),” terang Rintahani Johan Pradana atau yang ke­rap disapa Joe Pradana, pe­nulis buku Rumah Guru Bangsa, yang menjadi instruk­tur dan pemateri tur ketika berada di halaman Kantor Pos Kebon Rojo. Joe menyebut Soekarno muda saat itu tumbuh seba­gaimana anak muda pada umumnya. Pemikiran dan ideologi nasionalismenya semakin kuat bertumbuh se­jak bersekolah di HBS. Soekarno aktif dalam Studie Club, semacam lembaga ekstrakurikuler, dan aktif mem­perbincangkan cita-cita dan gagasan. Soekarno, kata Joe, sering maju berpidato dan unjuk kebolehan. Mengulas nasionalisme dan pentingnya arti sebuah kemerdekaan. ”Kalau berdasar catatan di buku Penyambung Lidah Ra­kyat, Soekarno juga pelukis cat air yang cukup hebat. Pe­lajaran seni, sastra, dan me­lukis merupakan pelajaran yang digemarinya,” katanya. Merujuk pada buku Soerabaia Tempo Doeloe jilid I karya Dukut Imam Widodo, HBS (sekolah lanjutan tingkat per­tama untuk orang Belanda, Eropa, Tionghoa, dan rakyat Indonesia yang terpandang) pada 1881–1923 menempati sebuah bangunan di Re­gentstraat di bekas dalem Kadipaten Surabaya. Persisnya berhadapan dengan Kebon Rojo yang dulu disebut taman kota atau stadstuin. ”Nah, pada 1923 itu HBS pindah ke gedung baru di Ketabang,” jelasnya. Setelah berkeliling melihat bekas HBS, rombongan ber­gerak menuju SDN Sulung atau yang kini dikenal sebagai SDN Alun-Alun Contong 1. Sekolah tersebut juga men­jadi saksi bisu ayah Soekarno yang pernah mengajar selama tiga tahun di sana. Sebelum pindah tugas mengajar di Ploso, Jombang. Rombongan selanjutnya singgah melihat rumah yang menjadi tempat lahirnya So­ekarno di Pandean IV. Tak berselang lama, kereta kelin­ci yang membawa 30-an pe­serta tur bergerak menuju Peneleh, rumah yang diting­gali Hadji Oemar Said Tjokro­aminoto, sebuah tempat yang disebut ”Dapur Nasionalisme” oleh Soekarno. Di rumah itulah, kata Joe, Soekarno bertemu dengan banyak tokoh yang nanti men­jadi penggerak perlawanan terhadap kolonialisme. Soe­karno muda belajar banyak dan meneladani sosok Tjokro­aminoto yang lekat dengan julukan guru bangsa. ”Dia belajar dengan Tjokro­aminoto, dengan KH Ahmad Dahlan. Bahkan secara tidak langsung belajar dengan Tan Malaka di rumah ini,” ung­kapnya. ”Tapi, tidak menyebut sebagai Tan Malaka, melain­kan pakai nama samaran, Husein,” lanjutnya. Soekarno juga bertemu dan belajar bersama tokoh-tokoh lain yang saat itu indekos di kediaman Tjokroaminoto. Baik yang kelak bergerak di sisi ‘kiri’ maupun ‘kanan’ seper­ti Alimin, Musso, Semaun, dan Kartosuwiryo. Termasuk ber­temu dengan istri pertamanya yang juga putri pertama Tjokroaminoto, Siti Oetari. ”Belajarnya banyak, terma­suk nasionalisme, pan-Isla­misme, dan sosialis demokrat,” jelasnya saat berada di bekas kediaman Tjokroaminoto di Jalan Peneleh. Gedung Nasional Indonesia (GNI) di Jalan Bubutan mer­upakan saksi hidup saat pada Desember 1932, setelah bebas dari Penjara Sukamiskin, Bandung, Soekarno datang bersama Inggit Garnasih, istrinya ketika itu. Tujuannya, menghadiri Kongres Indone­sia Raya. Dalam kongres yang dibuka dr Soetomo tersebut, Soekarno berpidato soal urgensi persa­tuan dalam perjuangan rakyat Indonesia. Gaung persatuan itu menggema seantero tanah air, khususnya Surabaya. Menurut Joe, Surabaya penuh sesak kala itu seiring dengan hadirnya ribuan orang untuk mendengarkan pidato Soe­karno. ”Inggit Garnasih me­nyebut, mendekam di penja­ra tak membuat suaminya berubah dan takut. Justru menjadi pelecut melancarkan kritik kepada pemerintah ko­lonial Belanda,” tuturnya. Wakil Koordinator Roodebrug Soerabaia Satrio Sudarso men­jelaskan, tema Soekarno di­pilih untuk membangkitkan kesadaran kesejarahan bahwa sang proklamator juga iden­tik dengan Surabaya. ”Event ini juga sebagai bentuk du­kungan kepada SDN Alun-Alun Contong 1 yang akan dijadikan sekolah artefak,” jelasnya. Dia mengungkapkan, event serupa akan rutin diseleng­garakan sebulan sekali dengan tema dan tempat yang ber­beda. ”Masih banyak lokasi di Surabaya yang bisa dieks­plorasi. Khususnya tempat-tempat bersejarah,” katanya. Ariska sepakat dengan Satrio. ”Bisa jadi alternatif untuk ber­wisata. Setidaknya sambil me­nyelam minum air dan jasme­rah seperti kata Soekarno. Jangan sekali-kali meninggalkan seja­rah,” jelasnya. (jp/feb/run)

Tags

Terkini