Lima anak penyandang disabilitas meluncurkan sebuah buku. Berisi kumpulan foto yang mereka bidik dalam kurun waktu lima tahun belakangan. Karya pertama itu pun menuai sambutan hangat sekaligus apresiasi dari berbagai kalangan. RAUT muka bahagia tampak pada Omay yang mengidap down syndrome. Empat kawannya yang bisu tuli, yakni Pina, Kiking, Mukidi, dan Jacky, memancarkan aura yang sama saat menghadiri peluncuran buku foto Tutur Mata pada Sabtu (18/12) di Cafe Taman, Surabaya Suites Hotel. Lima anak itu seolah tak bisa menyembunyikan perasaan haru sekaligus gembira yang membuncah di dada. ”Mereka makin percaya diri karena punya karya,” ujar Leo Arif Budiman, founder Disabilitas Berkarya. Lelaki yang juga dikenal dengan nama Leo Gemati tersebut merupakan sosok di balik terbitnya buku Tutur Mata. Sejak medio 2016, Leo aktif mengajar fotografi sebagai kegiatan selingan untuk anak-anak difabel yang tinggal di Pondok Sosial Kalijudan. Sebagai mentor, ia rutin mengajak anak-anak di sana untuk hunting foto setiap sepekan. Tempatnya bermacam-macam. Mulai hanya di sekitar Kalijudan, lalu merambah ke Pasar Pabean, Pasar Keputran, makam Belanda Kembang Kuning, makam Peneleh, hingga rumah Bung Karno. ”Saya memang sekalian mengenalkan mereka ke tempat-tempat cagar budaya di Surabaya,” jelasnya. Pada awal-awal latihan saat hunting foto itu, anak-anak hanya menggunakan kamera ponsel. Lambat laun mereka belajar memotret lewat kamera poket, LSR, maupun mirrorless. Mereka diajarkan tentang lighting, speed, kontras, dan beragam setting kamera lainnya. Tentu banyak tantangan dan kesulitan yang dihadapi selama proses belajar tersebut. Leo mengungkapkan bahwa tantangan yang ada adalah kendala bahasa. ”Karena kami sama-sama tidak mengerti bahasa isyarat. Jadi, selama ini kami menggunakan bahasa kedekatan. Artinya, tahu sama tahu karena terbiasa bersama. Pakai kode-kode tertentu, gestur, bahasa visual,” ungkapnya. Leo kerap menunjukkan hasil jepretan fotografer terkenal kepada anak-anak. Lantas, mereka praktik bareng dengan meniru. Lama-kelamaan mereka sudah lebih mandiri karena lebih paham mengenai teknik fotografi. Lima tahun belajar fotografi, karya anak-anak yang terkumpul pun semakin banyak. Terlebih, Leo menangkap potensi besar dari lima anak. Lima anak itu dipilih agar karya mereka dibukukan karena memang paling potensial ketimbang lainnya. Total, ada 47 foto dari lima anak tersebut yang terkumpul pada 2016–2021. ”Kalau hanya diunggah di media sosial, akan berlalu begitu saja. Tapi, kalau dibukukan, bisa didiskusikan, dibedah. Banyak apresiasi yang datang. Dari seratus eksemplar, sudah terjual sekitar 70 buku,” terangnya. Bagi Leo, karya mereka adalah potret perjuangan manusia yang tak pernah menyerah pada stigma dan mendobrak batas kemustahilan. Tentu ada banyak kisah di balik setiap foto yang tercetak di buku. Salah satunya adalah foto bidikan Pina yang diletakkan di halaman depan buku. Dia memotret Omay dan Kiking yang tertawa lepas saat loncat di atas sapu. (feb/run)