Meme adalah satu cerita kerasnya kehidupan anak di Surabaya. Terpisah dari kasih sayang orang tua dan menjadi korban kekerasan ayah tiri. Butuh perhatian banyak pihak. RAUT wajah Meme tampak riang. Sore itu, gadis kecil tersebut baru saja mandi. Rambutnya masih basah. Klimis dari pangkal hingga ujung rambut. Sesekali dia menata rambutnya. “Ini sudah nggak sakit. Ini juga, di punggung ada lagi,” kata Meme sambil mengarahkan jari telunjuknya ke bagian yang dimaksudkannya. Meski menunjukkan bekas luka, tidak ada wajah yang merepresentasikan rasa takut. Atau ekspresi sedih. Meme justru tersenyum. Padahal, anak-anak di usia Meme seharusnya punya cerita yang menyenangkan dan lebih berwarna. Seperti cerita bagaimana teman-temannya di sekolah. Sejak Desember lalu, Meme terpisah dari ibunya. Ibu dan ayah tirinya harus masuk ke hotel prodeo karena kasus pencurian sepeda motor. Keduanya ditangkap di Gresik. Kabar tersebut terendus Isabel. Isabel adalah adik keempat ibu Meme. “Meme ini anak kedua kakak saya. Meme punya kakak, tapi dibawa sama ayah kandung,” tutur Isabel. Isabel tinggal di Kalibutuh, Kelurahan Tembok Dukuh, Kecamatan Bubutan. Sementara itu, Meme dan ibunya tinggal bersama keluarga ayah tiri di Kecamatan Bulak. Dua hari setelah tahu kabar penangkapan, dia bingung mencari Meme. Isabel bersama teman-temannya mencari Meme. Untungnya, dia langsung tahu lokasi tinggal Meme. Sebab, hubungan antara dirinya dan ibu Meme kurang baik. Keduanya putus komunikasi sejak lama. “Meme cerita, selama tinggal di Bulak, ketika tidak ada ibunya, sering dipukuli. Sama ayah tirinya juga begitu,” katanya. Ibu enam anak itu mengungkapkan, Meme juga cerita kerap dipukul ayah tirinya dengan rotan. Ukurannya lumayan panjang. Meme yang duduk di sebelah Isabel memperkirakan ukuran rotan itu. Sekitar 1,5 meter. “Seginian, Om,” ucap Meme singkat. Kini di rumah kontrakan Isabel ukuran 4 x 15 meter persegi, Meme berbagi tempat istirahat dengan Isabel. Isabel tidak tega jika harus membiarkan keponakannya itu menderita. Dia juga khawatir, hal yang tak diinginkan terjadi kepada Meme. “Pikiran saya waktu itu jelek-jelek. Takutnya Meme disuruh ngemis, disuruh nyuri,” terangnya. Isabel tak peduli dengan beban di pundaknya sekarang. Di sisi lain, suaminya juga tidak bekerja karena menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) buntut pandemi. Sebelumnya, suaminya bekerja di rumah karaoke keluarga di Rungkut. Per hari, jelas Isabel, uang Rp100 ribu tak cukup untuk kebutuhan makan. Tiap sore dia membuka lapak makanan ringan. Dia berjualan sosis bakar di pinggir Jalan Kalibutuh. “Dibilang nggak cukup, ya memang nggak cukup. Tapi, ada saja uang untuk ini dan itu,” paparnya. Isabel berharap Meme bisa belajar di sekolah dasar. Dia sempat kesulitan untuk mendaftarkan Meme ke sekolah negeri. Sebab, Meme tidak disekolahkan di TK oleh ibunya. Sementara itu, syarat masuk sekolah dasar negeri wajib memiliki ijazah TK. Berbeda jika Meme masuk sekolah swasta. Sayangnya, biaya pendidikan di sekolah swasta cukup menguras kantong Isabel. Per bulan biaya pendidikan sekolah dasar swasta Rp300 ribu. Biaya masuk kali pertama Rp1,5 juta. Imam Syafi’i selaku anggota Badan Anggaran DPRD Surabaya yang ikut mendampingi Jawa Pos sore itu menuturkan, seharusnya Meme bisa bersekolah di negeri. Sebab, kondisi Meme kasuistik dan perlu kebijakan khusus dari dinas terkait. Politikus Partai Nasdem itu berencana berdiskusi dengan Dinas Pendidikan (Dispendik) dalam waktu dekat. (jp/feb/ run)