Minggu, 21 Desember 2025

Galian Ilegal Dibekingi Oknum Aparat?

- Senin, 22 April 2019 | 08:31 WIB

METROPOLITAN - Perubahan regulasi dan kewenangan, di mana proses perizinan dan pengawasan saat ini diberikan kepada Pemprov Jabar, membuat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor seakan mati kutu. Pemerintah daerah tidak memiliki taring dalam menegakkan aturan. Proses penegakan hukum bagi penambang ilegal sepertinya setengah hati dengan alasan tidak adanya kewenangan. Bahkan, keberadaan galian ilegal tersebut kerap menjadi ajang bagi aparat, baik Satpol PP maupun kepolisian, untuk mencari pemasukan sampingan dengan alasan koordinasi keamanan. Ketua LSM Pemerhati Kebijakan dan Layanan Publik (PKLP), Maraja Manalu, mengungkapkan, dari hasil investigasi yang dilakukan pihaknya, banyak oknum aparat yang mendapatkan keuntungan dari keberadaan galian ilegal di Bogor Timur. Mereka umumnya mendapatkan jatah bulanan jutaan rupiah sebagai bentuk koordinasi. “Besarannya antara Rp2 juta sampai Rp5 juta per bulan. Belum lagi koordinasi untuk oknum desa, oknum kepolisian, oknum Satpol PP hingga oknum di kecamatan,” ujarnya. Menurut dia, kerugian negara dari keberadaan galian ilegal yang terbesar adalah dari sisi pajak yang seharusnya masuk ke pemerintah daerah. Hal itu dikarenakan tak adanya izin dan kewajiban dari penambang untuk menyetorkan pajak hasil eksploitasi kepada pemerintah. “Kalau mau dihitung nilainya bisa mencapai puluhan miliar dalam satu tahun. Mengingat banyaknya lokasi tambang di Bogor Timur,” paparnya. Dia juga mengatakan, pengakuan para penambang bahwa para pengusaha galian aktif berkoordinasi dengan oknum-oknum terkait sehingga bisa beroperasi sebab kalau tidak berkoordinasi tentu akan ditutup. ”Para penambang bilang oknumoknum terkait rutin menyambangi galian itu. Ada yang lewat telepon dan ada yang menunggu di kantor. Bagi oknum yang mendatangi lokasi biasanya diselesaikan di tempat, tapi kalau lewat telepon pasti lewat transfer. Kalau menunggu di kantor ya diselesaikan di kantor. Makanya kalau diusut PPATK akan kelihatan,” terangnya. Selain itu, bisnis lain yang juga terindikasi merugikan negara adalah penggunaan solar subsidi yang digunakan sebagai bahan bakar alat berat di lokasi galian liar. Maraja menyebutkan, pertambangan galian di Bogor Timur tersebut menggunakan alat berat sekitar 40 unit. Sementara Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar yang digunakan Excafator (Beco) itu diduga BBM bersubsidi sehingga dianggap telah membebani keuangan negara. ”Satu unit Excafator (Beco) yang digunakan di pertambangan galian itu dalam satu hari menghabiskan BBM jenis Solar kurang lebih 200 liter. Bayangkan kalau ada 40 unit Excafator (Beco) berarti dalam satu hari pertambangan galian tersebut menghabiskan BBM 8.000 liter,” ujarnya. (fik/els/py)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X