METROPOLITAN - Betonisasi jalan yang didanai Program Samisade di Desa Sukaresmi, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, diblokir warga. Pemblokiran dilakukan lantaran pembangunan Samisade itu berada di atas tanah sah hak milik warga dan setiap tahunnya masih membayar pajak. Program yang bertujuan meningkatkan infrastruktur di wilayah pedesaan, akses jalan wisata dan pertanian itu dinodai lalainya Pemerintah Desa (Pemdes) Sukaresmi dalam menentukan titik pembangunan jalan. Akibatnya, program unggulan bupati Bogor menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat. Seorang warga pemilik lahan, Keling, memaparkan, sebelumnya pihaknya sudah berbicara kepada Pemerintah Desa (Pemdes) Sukaresmi atas lahan yang terpakai untuk pelebaran jalan adalah miliknya. Bahkan, ia masih membayar pajak setiap tahunnya. Ia tidak pernah merasa menjual kepada siapa pun tanah yang diklaim miliknya itu. ”Saya tak pernah menjual atau menghibahkan tanah tersebut kepada pemerintah desa. Kades Sukaresmi Yaya memberikan keterangan ke saya bahwa lahan tersebut sudah dibebaskan kades yang lama menggunakan anggaran dari pengusaha untuk akses Puncak II. Pengusaha tersebut sudah memberikan dan menghibahkannya kepada Pemdes Sukaresmi,” beber Keling kepada Metropolitan, kemarin. Mantan Kepala Desa (Kades) Sukaresmi, Gopar, membenarkan apa yang diungkapkan Keling. Pada 2007 saat dirinya masih menjabat kades, pengusaha bernama Martin menghadap ke kantor desa untuk melakukan pembebasan lahan untuk jalan dari Kali Cipamingkis sampai Kampung Limusnunggal. ”Sebelum proses pembebasan diselesaikan, pengusaha tersebut terkena musibah. Jadi, proses pembukaan jalur Puncak II tidak dilanjutkan dan memang belum ada jual-beli dengan warga pada 2017. Saya membuka jalur tersebut untuk akses galian, di mana saya dengan warga membuat kesepakatan pinjam sewa bukan jual-beli dengan warga,” jelas Gopar. Gopar melanjutkan, kemungkinan pemerintah desa yang sekarang berpatokan pada penghibahan dari keluarga Martin dan tidak melaksanakan musyawarah kepada para tokoh yang mengetahui asal-usul tanah tersebut. ”Pemdes Sukaresmi sebelum membangun menanyakannya dulu soal kejelasan tanah yang dipakai untuk pembangunan akses jalan dari Program Samisade kepada orang-orang bersangkutan, terutama musyawarah bersama tokoh masyarakat dan tokoh agama agar ini tak terjadi lagi,” katanya. Sementara itu, kuasa hukum Keling, Teguh, bersama warga sudah mendatangi instansi aset daerah Kabupaten Bogor untuk menanyakan langsung dokumen hibah yang diajukan Pemdes Sukaresmi. Ia mempertanyakan apakah sudah sesuai apa yang diakui kepala desa Sukaresmi yakni adanya proses hibah, sehingga berani membangun jalan tersebut. ”Sangat disayangkan kades yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat malah menyalahgunakan wewenang. Sudah beberapa kali pihak kita mengajak bermusyawarah. Keling bersama tim mendatangi kantor desa Sukaresmi, namun kades selalu tidak ada di kantor. Padahal sebelumnya sudah diagendakan dan membuat janji, di mana pertemuan antara warga dengan kades ini bertujuan mencari jalan keluar yang tidak merugikan kedua belah pihak,” papar Teguh. Selanjutnya, Keling dan keluarga sebagai ahli waris mendukung untuk menggugat tanah tersebut. Sebab, tidak ada iktikad baik dari kepala desa dan sampai sekarang sulit ditemui, sehingga pihaknya sepakat mematok jalan tersebut. (ags/jis/els/ py)