METROPOLITAN - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat (Jabar) memberi kritik tajam atas terjadinya bencana banjir dan longsor di wilayah Rumpin dan sekitarnya. Walhi menduga kuat bencana yang terjadi disebabkan aktivitas galian tambang. Direktur Walhi Jabar, Meiki W Paendong, menegaskan pihaknya mengecam keras giat eksploitasi tambang yang merusak lingkungan hidup. Terlebih jika dampak negatifnya membahayakan keselamatan dan keamanan warga. “Karena sesuai Undang- Undang Minerba maupun UU PPLH, setiap usaha tambang itu wajib melakukan reklamasi, rehabilitasi, dan mitigasi dari dampak usahanya pada alam maupun lingkungan sosial,” kata Meiki. Ia mengungkapkan, bocoran dari hasil kajian Dinas ESDM Provinsi Jabar, hasil produksi tambang di Kabupaten Bogor sudah melewati ambang batas. Sebab, hasil produksi melampaui jumlah pemesanan barang dari luar. Karena itu, sempat akan ada moratorium, namun terbentur UU Cipta Kerja. “Dalam analisa kami, banyaknya produksi tidak diimbangi adanya pengawasan dan pengelolaan oleh internal perusahaan maupun dinas terkait seperti ESDM dan LH. Padahal, itu kewajiban perusahaan maupun pemerintah,” paparnya. Meiki juga menegaskan, dalam Izin Usaha Pertambangan, Undang-Undang Minerba dan PPLH sangat jelas bahwa pelaku usaha pertambangan wajib melakukan reklamasi, rehabilitasi, dan mitigasi dari dampak usahanya. “Jadi kewajiban-kewajiban ini harus terus disuarakan, didorong, dan dikampanyekan semua pihak. Sehingga jangan sampai bukit dikupas, gunung dikeruk, sungai tercemar, lubang besar terbuat, lalu pengusaha abai atas tanggung jawabnya,” terang Meiki. Sementara itu, Camat Rumpin, Ade Zulfahmi, mengatakan bahwa dari hasil peninjauan ke lokasi longsor dan setelah berkomunikasi dengan PT Batu Sampurna Makmur (PT BSM) bahwa perusahaan bertanggung jawab dan sudah menyiapkan lahan untuk relokasi korban terdampak. Ia menuturkan, sejak longsor pertama yang terjadi 3 Agustus 2021, aktivitas usaha tambang sudah dihentikan. Lalu PT BSM juga telah melakukan upaya perbaikan lereng atau tebing yang longsor. “Namun perbaikan hanya bertahan 35 hari, karena alam berkehendak lain. Terjadi kembali retakan tanah pada Rabu sore 8 September 2021 dan berlanjut longsor susulan pada Jumat sore 10 September 2021. Pada 11 September, kami lakukan peninjauan ke lokasi,” bebernya. Dengan adanya peristiwa tersebut, lanjut Ade Zulfahmi, usaha tambang tidak akan diteruskan dan penanganan selanjutnya adalah proses relokasi rumah warga yang roboh. Untuk cakupannya akan minta arahan dari dinas terkait. “Relokasi korban, termasuk dengan pembangunan rumah, kami sudah berkirim surat ke Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Semoga warga mau direlokasi,” pungkasnya. (mul/c/els/run)