METROPOLITAN - Atas paksaannya, bahkan aku membawa keluargaku untuk berkunjung ke rumahnya. Dia inginkan kepastian hubungan kami, dengan datangnya orang tuaku, otomatis hubungan kami menjadi lebih serius. Meski kesal semua keinginannya ku penuhi. Hingga akhirnya dia mengakui jika cintanya padaku mulai membuatnya takut. Takut kehilanganku. Saat itu aku bahagia, kami telah berhasil membuang masa lalunya. Semakin hari cintanya semakin dapat kurasakan. Dari tatapannya, usahanya dan kegigihannya membuat cintaku juga kian membesar tak terkendali. Kami saling mencintai dengan utuh. Seakan dia telah menjadi diriku, begitupun sebaliknya. Seringkali dia mengucapkan terima kasih karna aku telah datang di hidupnya. Meski dia termasuk orang yang tak kan blak blaka soal cinta, perhatian, cemburu dan protektifnya menjabarkan segalanya. Berkat usahanya hubungan keluarga kami berjalan baik. Kami hanya perlu menunggu studinya selesai dan kami menikah. Dalam prosesnya, tak henti hentinya dia selalu mengikatku agar selalu bersamanya. Jangan pernah meniggalkannya. Jika sampai kejadian, dan bahkan mengancam akan menyantetku. Konyol. Pernah juga dia menyatakan, jika nanti kami berpisah dia memang tak kan gila, tapi seluruh hatinya kan hilang. Hidupnya tak akan pernah sama lagi. Cinta takkan pernah ada lagi, kerna dulu saat terluka larna cinta, rasa yang dia punya tak lah sebesar sekarang. Kaki saling berjanii untuk setia. Masalah lebih besar menggoncang hubungan kami saat dia menyelesaikan studinya. Keluargaku mulai menagih janji pernikahannya. Dan entah bagaimana, akhirnya pernikahan kami diundur samapi dia mendapatkan pekerjaan. Meski kecewa kami tetap bertahan. Hingga cobaan besar lainnya menghantam. Janji kembali di ingkari. Aku jatuh melihat teman sebayaku telah bersanding. Aku mulai goyah. Namun dia tak perlah sedetik pun melepasku. Rasa takutnya masih sama, permohonannya membuatku luruh. Aku memilih bertahan. Mengambil resiko menikah semakin tua. Dia memutuskan untuk bekerja keluar pulau. Janji ini semua untuk kehidupan kami kelak. Untuk anak anak kami. Selama hubungan jarak jauh kami tetap teguh pada janji. Hingga masa janji pernikahan kembali datang. Walau tanpa ada dia, keluargaku tetap menemui keluarganya. Kami berharap perhitungan lancar. Dia juga sangat berharap agar kali ini berbuah manis. Namun sayang keluarganya mengelak. Lagi. Aku kecewa. Pertengkaran terjadi. Dia menyalahkan keluargaku yang tak memakasa keluarganya saja agar kami segera di nikahkan. Semua kacau balau. Kami sama sama terluka. Impian indah yang telah kami rancang, kembali harus kami sangkarkan. Sungguh kami berdua merindukan ikatan halal. Sangat rindu. Aku kembali goyah. Numun kembali dia meyakinkanku. (bersambung)