METROPOLITAN – JELANG akhir tahun, aksi buruh menuntut kenaikan upah seolah menjadi tradisi. Berkat perjuangan para buruh, Pemerintah Kota dan Pemerintah Kabupaten (Pemkot-Pemkab) Bogor memprediksi kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (Kota) pada 2018 mendatang hingga 8,71 persen.
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kota Bogor memperkirakan UMK di Kota Bogor naik 8,71 persen tahun depan. Kenaikan UMK ini mengacu pada besaran inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB) yang mencapai angka serupa.
Kepala Disnakertrans Kota Bogor Samson Purba mengatakan, saat ini besaran upah yang diterima pekerja sebesar Rp3.272.143 per bulan. Dengan adanya kenaikan ini, maka besaran upah yang diterima pekerja kurang lebih Rp3.557.146 per bulan pada 2018.
“Penambahan besaran UMK 2018 sesuai Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang menyebutkan kenaikan harus disinkronisasikan dengan angka pertumbuhan inflasi dan PDB daerah,” kata Samson.
Sama dengan di Kota Bogor, UMK Kabupaten Bogor juga diprediksi mengalami peningkatan 8,71 persen. Dari Rp3.204.551 tahun lalu, upah naik menjadi Rp3.483.667 pada 2018.
Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bogor Yous Sudrajat, angka tersebut disesuaikan pertumbuhan inflasi dan PDB. ”Itu masih prediksi, jadwal pertengahan November baru rapat,” ujarnya.
Yous menjelaskan, masih banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum memastikan UMK di Kabupaten Bogor. Sebab, jika terlalu tinggi, banyak investor kabur dan mencari kawasan dengan tingkat UMK tidak setinggi Kabupaten Bogor. Misalnya saja, Pangandaran dan Sukabumi yang masih menetapkan UMK di bawah Rp3 juta.
Sebaliknya, apabila UMK terlalu rendah, Yous menuturkan, semakin banyak pekerja yang merasa tidak adil. ”Dibutuhkan diskusi dan sosialisasi agar mereka bisa memahami kondisi yang ada,” tuturnya.
Sebelumnya, ribuan buruh dari lintas federasi atau serikat kembali berunjuk rasa di gerbang kantor Bupati Bogor, Jalan Tegar Beriman, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, kemarin. Mereka meminta kenaikan upah dan menolak diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 dalam penetapan Upah Minimum Kabupaten/ Kota (UMK) 2018 yang mengancam pemberhentian kerja massal atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Jika tuntutan mereka tidak dikabulkan, ribuan buruh Bogor akan melakukan aksi long march dari Istana Bogor menuju Istana Negara Jakarta untuk bergabung dengan buruh dari luar daerah.
Ketua SPMI Bogor Willa Faradian mengatakan, penerapan PP Nomor 78 akan berdampak ke semua lini. Mulai dari PHK massal hingga banyaknya perusahaan yang pindah karena memilih upah yang lebih kecil. Mengatasi hal itu, bupati harus cepat mengambil tindakan dan menghapus PP tersebut. Rencananya Jumat (10/11) merupakan puncak aksi. ”Bertepatan dengan Hari Pahlawan, sekitar 5.000 buruh akan menggelar aksi long march ke Istana Jakarta dan bergabung dengan teman-teman buruh dari wilayah lainnya,” katanya.
Selain menolak PP Nomor 78 Tahun 2015, buruh juga bersepakat menolak penetapan upah padat karya Tekstil Sandang Kulit (TSK) karena besarannya di bawah UMK. Jika upah TSK ini diberlakukan sama saja negara menyengsarakan buruh. “Kami minta upah TSK dinaikkan lebih dari UMK atau hapuskan saja upah TSK karena kebutuhan hidup makin naik, bukan malah turun,” katanya.
Hal senada dikatakan Ketua DPC Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kabupaten Bogor Agus Sudrajat. Selain menolak upah TSK dengan cara aksi turun ke jalan, SPN juga mengadukan pemerintah karena tahun ini menetapkan upah TSK. ”Upah TSK merupakan pemaksaan kehendak Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat dan Apindo Kota Depok, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta karena besaran upah TSK nilainya di bawah UMK,” bebernya.
Agus menambahkan, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat menetapkan UMK tidak berdasarkan PP 78, tapi berdasarkan poin Kebutuhan Hidup Layak (KHL). ”PP ini bertentangan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 yang mensyaratkan kenaikan upah berdasarkan KHL setelah sebelumnya melakukan survei pasar.
(ads/ ryn/c/tib/rol/els/py)