METROPOLITAN – Tahun ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor tengah menyelenggarakan program Sekolah Ibu dengan anggaran sebesar Rp4,8 miliar dari APBD 2018, dan sedang diajukan kenaikan anggaran menjadi Rp10,5 miliar untuk kebutuhan anggaran Sekolah Ibu tahun 2019. Hal itu hingga kini masih menjadi polemik terkait anggaran ataupun output dari program yang berasal dari PKK tersebut. Penyelenggaraan kegiatan tersebut hingga kini belum memiliki payung hukum, karena Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) masih membahas pembuatan Peraturan Walikota (Perwali) yang lebih spesifik. Kepala Bidang Sosial Budaya dan Pemerintahan Bappeda Kota Bogor, Rudiyana mengatakan, pihaknya menargetkan minggu ini sudah finalisasi draft perwali yang tengah digodok. Draft rancangan perwali itu sedang diharmonisasi oleh Bagian Hukum Sekretariat Daerah (Setda) Kota Bogor. "Minggu depan lah (sudah finalisasi)," katanya kepada wartawan koran ini, akhir pekan lalu. Rudi menambahkan, pembahasan draft perwali itu melibatkan berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD), diantaranya Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, dan Perlindungan Anak (DPMPPA), Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) serta enam camat, sebagai leading sektor dari Sekolah Ibu. "Banyak masukan pada pembahasan dan hal penting di rancangan draft tersebut,” paparnya. Terpisah, Kepala Bagian Hukum Setda Kota Bogor Novy Hasby Munawar menjelaskan, sudah ada pertemuan dengan Bappeda terkait kelanjutan payung hukum penyelenggaraan Sekolah Ibu, pada Jumat (24/8). Selama ini, kata Novy, penyelenggaraan Sekolah Ibu menempel di Perwali PATEN (Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan). “Sudah dirapatkan di Bappeda soal payung hukumnya. Selama ini memakai Perwali PATEN. Nah, yang sekarang untuk memperkuat payung hukum Sekolah Ibu," singkatnya. Sementara itu, pengamat politik dan kebijakan publik Yus Fitriadi mengungkapkan ada sisi lain dari program Sekolah Ibu yang menarik, karena menjadi advokasi untuk memperbaiki tatanan keluarga. Namun, sebetulnya kelihatan tidak lebih dari orientasi proyek dan bukan orientasi harkat advokasi. Sehingga dikhawatirkan hasilnya tidak signifikan. "Urusan rumah tangga bukan hanya urusan ibu, tapi juga urusan bapak. Sehingga tidak bisa advokasi ini hanya kepada ibu-ibu saja, seakan memberikan kesan, ibu-ibu lah faktor utama dari perceraian," terangnya. Lanjut Yus, untuk urusan rumah tangga itu melibatkan rasa dan hati, sehingga tidak bisa dipaksakan dan dimediasi hanya dengan proyek yang sangat singkat. Terlebih program ini tidak pernah berbasis riset, apa yang menjadi faktor terbesar dari perceraian. Masalah keluarga lebih kepada masalah moral, mental dan budaya, sehingga tidak bisa diatasi dengan program instan dan formal namun harus dengan program panjang, berkelanjutan dan melibatkan budaya. "Harusnya melibatkan forum-forum warga yang sudah ada, seperti masjlis taklim, gereja, komunitas, kelompok-kelompok, yang keberadaannya bersifat permanen dan programnya juga sangat jelas," ujarnya. Senada, pengamat hukum dan kebijakan publik, Dwi Arsywendo berpendapat, dalam penerapan Sekolah Ibu, Pemkot Bogor harus tetap mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 36 Tahun 2014. "Dan dituangkan dalam Rencana Induk Pengembangan Satuan Pendidikan (RIPS), yang merupakan pedoman dasar pengembangan satuan pendidikan untuk jangka waktu paling singkat lima tahun, karena itu syarat mutlak pendirian. Selain itu, kata dia, pengelolaan mengenai anggaran mestinya dialokasikan kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang membidanginya, walaupun pada pelaksanaannya dilakukan di tingkat kelurahan. "Walau ada argumen dasar hukum dari Sekolah Ibu itu terdapat dalam Perwali Nomor 36 Tahun 2018. Namun, itu tidak sesuai, karena dalam perwali tersebut tidak menyebutkan dengan jelas," tutupnya. (ryn/b/yok)