METROPOLITAN - Pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berencana mengeluarkan kebijakan ojek online (ojol) menjadi angkutan umum pada Februari 2019. Tak ayal, rencana tersebut mengundang reaksi beragam. Wakil Bupati Bogor, Iwan Setiawan, mengatakan, hingga saat ini dirinya memang belum mendapatkan informasi jelas soal rencana tersebut. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor bakal fatsun dan nurut terhadap kebijakan pemerintah pusat. ”Pada dasarnya, kalau dari atas (pemerintah pusat, red) kita menyesuaikan lah (dengan kebijakan yang ada),” kata Iwan usai ditemui Metropolitan di kantornya, kemarin. Politisi Gerindra itu menambahkan, angkutan umum yang sesuai aturan itu harus ada trayek dan jalurnya. Sementara yang berjalan sekarang ojol tidak ada aturan itu. ”Misalnya trayek Cisarua-Sukasari, Parung-Merdeka. Nah, ojol kan lintas wilayah, bisa ke mana saja,” ujarnya.jalan sekarang ojol tidak ada Jika nantinya aturan itu berlaku, sambung Iwan, harus ada skema penyesuaian agar tidak menjadi polemik baru. Meskipun saat ini Iwan masih belum tahu seperti apa skema yang akan dijalankan di daerah jika aturan diterbitkan. ”Misal warnanya, pakai warna khusus, misal kuning. Atau pakai stiker. Banyak opsi. Nah, ini yang harus didiskusikan terlebih dulu dengan pihak terkait. Nanti di lapangan bagaimana? Atau pengawasnya siapa, kalau tidak ada jalur?” terangnya. Sementara itu, Pengamat Transportasi, Djoko Setijowarno, berpendapat, walau sepeda motor bukan jenis transportasi umum, harus diakui keberadaannya sangat membantu mobilitas warga di saat pelayanan transportasi umum makin menurun. Pemda seharusnya bisa membuat regulasi yang mengatur penyelenggaraan angkutan sepeda motor online di daerah. Namun dalam perkembangannya, tak banyak daerah yang membuat regulasi yang bisa menjamin kesejahteraan dan keselamatan pengemudi dan pengguna jasa ojek online. ”Masih minim, seolah kepala daerah kurang peduli,” paparnya. Kemenhub, sambung dia, bisa membuat aturan khusus melalui diskresi hukum untuk melindungi warga negara dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sejalan dengan menjamin keselamatan selama beroperasi. ”Caranya, menentukan batas wilayah operasi, menetapkan batas tarif minimal, mempertimbangkan penerapan suspend (hukuman) dan safety gear,” ujarnya. Akan tetapi, ini bukan berarti menyetujui sepeda motor sebagai transportasi umum. Tetap saja transportasi umum harus dikembangkan pemerintah dengan segera secara masif ke seluruh pelosok supaya populasi ojol makin berkurang. ”Supaya sebagian pengemudi ojek daring (online) bisa beralih ke usaha transportasi umum berbadan hukum. Tarifnya pun cukup diberi formula Biaya Operasi Kendaraan (BOK),” tegasnya. Beredarnya rencana aturan ojol jadi angkutan umum ini ditanggapi beragam oleh para tukang ojek, baik ojol maupun ojek pangkalan. Pengemudi ojek daring pada Komunitas Mesra, Joko, mengaku belum mendengar secara jelas wacana yang menerapkan aturan main ojol itu. Jika aturan nanti dibuat jelas, ada regulasi dan payung hukum yang jelas, maka tidak masalah. Hanya saja, persoalan sensitif, yakni tarif, harus berasaskan keadilan juga. “Misalnya harus disesuaikan jarak tempuh, jangan terlalu minim atau rendah,” kata pria yang sering beroperasi di wilayah Sukasari, Kota Bogor dan sekitarnya itu. Bahkan, beberapa pengemudi ojek pangkalan yang juga mengais rezeki dengan cara ‘serupa tapi tak sama’ itu ikut mengomentari. Pengemudi ojek di wilayah Ciomas, Yadi, mengakui sejak awal keberadaan ojol memang harus ada aturannya. Tak aneh, ojek pangkalan beberapa kali terlibat konflik dengan ojek daring atau angkot konvensional. “Beberapa wilayah di Ciomas saja masang plang ‘Ojek Online Dilarang Masuk’ atau ‘Hanya Boleh Antar/Jemput’. Itu berarti selama ini aturannya nggak jelas, akhirnya konflik. Memang harus ada aturannya supaya persaingan sehat bisa terwujud,” pungkasnya. (ryn/d/yok/py)