METROPOLITAN – Hasil deadlock pada pertemuan keempat antara Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor dengan kuasa hukum pemilik lahan Regional Ring Road (R3) pada Senin (11/3), rupanya mengundang reaksi hebat dari Komisi IV DPRD Kota Hujan.
Sekretaris Komisi IV DPRD menyayangkan musyawarah terakhir antara Pemkot Bogor dan ahli waris harus berakhir deadlock. “Kami sangat menyKota Bogor, Atty Somadikarya, ayangkan hasil pertemuan terakhir. Hasil itu dinilai sebagai salah satu bukti ketidakmampuan pemkot dalam memenuhi hak masyarakat Bogor,” terangnya. Terlebih, banyak masyarakat yang terkena dampak negatif penutupan jalur R3. Artinya, pemkot gagal memberikan hak masyarakat. Politisi PDI Perjuangan itu menilai pemkot seharusnya bisa menyikapi persoalan ini dengan terencana dan sistematis. “Mufakatnya ketemu tidak dalam hasil pertemuan itu. Kalau tidak, itu pertanda salah satu kegagalan pemkot dalam berkomunikasi,” ujarnya. Beberapa waktu lalu, DPRD maupun pemkot sudah membahas anggaran pembebasan lahan R3. Bahkan, pihaknya sempat memberikan solusi. “Saat meminta anggaran kepada kami, pemkot sedang menunggu titik temu dengan pemilik lahan. Singkatnya, kalau tidak ada titik temu dengan pemilik lahan, pembahasan kemarin buang energi saja. Berarti dalam eksekusinya pemkot tidak becus,” tegasnya. Seperti diketahui, terjadinya hasil deadlock pada pertemuan keempat Senin (11/3) lantaran Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kota Bogor, sebagai pemberi kerja kepada Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP), dinilai tidak taat dan patuh dalam melaksanakan putusan Pengadilan Negeri (PN). “Berdasarkan hasil putusan Nomor 64/Pdt.G/2018/PN BOGOR, pihak PUPR tidak menjalankan Pasal 3 Ayat 3 yang menjelaskan bahwa tergugat mesti membayar kompensasi mulai Juni 2014 hingga akhir 2018,” terang Kuasa Hukum Pemilik Lahan R3, Herli Hermawan. Dalam Surat Perintah Kerja (SPK) appraisal, DPUPR tidak memerintahkan KJPP menghitung ganti rugi yang dimaksud dalam akta van dadding atau akta perdamaian. Pihaknya juga tidak mengetahui apa yang menjadi dasar PUPR melakukan hal tersebut. “Padahal itu wajib ditaati dan dipatuhi pemkot sebagai penggugat. Artinya, hasil appraisal telah cacat dalam prosesnya,” bebernya. Karena tidak ada mufakat atas musyawarah terakhir, sambung dia, pemilik lahan beserta tim kuasa hukum akan mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri (PN) Bogor. “Kita dikasih waktu 14 hari untuk mengajukan keberatan ke PN, itu semua berdasarkan peraturan perundang-undangan,” ungkapnya. Terpisah, Sekda Kota Bogor, Ade Sarip Hidayat, menjelaskan, akta perdamaian sudah dijadikan rujukan dan dilampirkan dalam SPK kepada Tim Appraisal. Hanya saja tidak dibuat detail untuk penghitungan kompensasi. “Secara detail tidak dibuat dalam SPK oleh PUPR,” katanya. Jika pemilik lahan ingin mengajukan keberatan kepada PN Bogor atas hasil appraisal yang telah dilakukan, maka Pemkot Bogor akan mengikuti prosesnya berdasarkan aturan. “Itu hak mereka, kita ikuti saja,” paparnya. (ogi/c/yok/py)