METROPOLITAN – Sebanyak 50 kepala Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Kota Bogor kemarin sore menyambangi gedung DPRD Kota Bogor di Jalan Pemuda, Kecamatan Tanahsareal. Para kepala sekolah ini mengadukan nasib anak didiknya yang harus membayar sejumlah uang jika ingin mengikuti Ujian Nasional (UN) pada 22 April. Ketua Umum Kelompok Kerja Madarasah Ibtidaiyah (KKMI) Kota Bogor, Dede Syamsul Anwar, mengatakan, kedatangannya beserta puluhan kepala sekolah lainnya adalah bentuk ketidak puasan kinerja Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor, khususnya dari segi pendidikan. “Kami sangat menyayangkan kebijakan pemerintah yang mengharuskan siswa MI membayar biaya UN sebesar Rp36.500. Sedangkan sekolah dasar digratiskan,” kata Dede. Dede menjelaskan, ini tentu menandakan ketidak adilan antara pendidikan SD dan MI. “Permasalahan yang kami bawa di sini bukan masalah nominalnya, tapi ada ketidak adilan terkait pelaksanaan UN di Kota Bogor,” bebernya. Dede menjelaskan, program wajib belajar sembilan tahun yang digaungkan pemerintah selama ini seharusnya sudah mengatur secara rinci terkait tidak ada pungutan biaya pendidikan dalam bentuk dan alasan apapun. “Jika ingin menggratiskan biaya pendidikan, gratiskannya jangan setengah-setengah dan pilih kasih,” ujarnya. Ia pun meminta pemerintah tidak membeda-bedakan antara SD dengan MI. Walau bagaimanapun siswa ini adalah masyarakat Kota Bogor. Menanggapi hal tersebut, Ketua Komisi I DPRD Kota Bogor, Ahmad Aswandi, mengaku terkejut saat mendengar kasus itu. “Kami baru mendapatkan informasi ini. Setahu kami untuk anggaran biaya sekolah atau lebih dikenal wajib belajar 9 tahun sifatnya gratis,” ungkap Qwong, sapaan karibnya. Ia mengaku akan segera menindaklanjuti kejadian ini. Pihaknya juga bakal menelusuri lebih lanjut, di mana sebenarnya permasalahan ini berawal. “Dalam waktu dekat kita akan berkomunikasi dengan plh wali kota dan kepala Dinas Pendidikan Kota Bogor untuk mengurai dan mencari tahu letak permasalahan yang sebenarnya. Tentu kami akan cari solusi terbaik,” bebernya. (ogi/c/yok/py)