Sejak 2009, Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor menerapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Hujan. Bahkan, tahun lalu pemkot melakukan revisi dengan memperluas cakupan wilayah KTR. Rupanya sepuluh tahun berjalan, perda ini dinilai mandul dalam penegakannya
HAL tersebut diakui Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor, Rubaeah. Ia mengatakan, dalam pasal tujuh pada perda tersebut, dengan revisi ada sekitar delapan wilayah yang ditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Yakni, tempat umum, tempat kerja, tempat ibadah, tempat bermain atau berkumpulnya anak-anak, kendaraan angkutan umum, lingkungan tempat proses belajar mengajar, sarana kesehatan dan olahraga.
Ia mengakui dari kedelapan wilayah tersebut, KTR tempat umum menjadi tempat paling banyak pelanggarannya dibanding tempat lain. “Masing-masing ada peningkatan pelanggaran yang berbeda, paling parah itu tempat umum, seperti restoran, hotel, kafe dan tempat hiburan. Tingkat kepatuhan di sana rendah. Kalau wilayah instansi kesehatan, pendidikan, hampir 90 persen patuh ya,” katanya kepada awak media.
Padahal, sambung dia, sosialisasi dan upaya penegakan sudah dilakukan bersama Satpol PP Kota Bogor dengan laporan tindak pidana ringan (tipiring) setiap bulan. Rubaeah pun mengklaim revisi perda yang dilakukan sejak akhir 2018 itu tidak menuai penolakan, meskipun pernah ada gejolak lantaran Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) pernah menyatakan keberatan. “Sampai sekarang sosialisasi ke satgas, kantor dan masyarakat. Penolakan dari Aprindo tahun lalu akhirnya ada resolusi, sempat ke mahkamah sih dan kita (pemkot, red) menang ya,” ujarnya.
Rubaeah menekankan perda itu diterapkan bukan untuk melarang perokok, namun lebih pada kontrol dan mengatur orang merokok tidak pada tempatnya. Sosialisasi yang dilakukan berkutat pada kepatuhan sesuai aturan agar tidak melanggar merokok di delapan kawasan yang sudah ditentukan.
Setelah 10 tahun berjalan, sambung dia, baru tahun ini dinkes bakal melakukan penelitian untuk mendata jumlah perokok dan mendapatkan referensi tentang perokok, kerja sama dengan lembaga pendidikan kampus Universitas Indonesia (UI). Hasilnya akan menentukan ampuh tidaknya Perda KTR sejak diterapkan pada 2009 beserta revisi yang masih disosialisasikan hingga saat ini.
“Kita baru ada penelitian sekarang, setelah 10 tahun. Referensinya kita ingin lihat, mulai dari usia, kapan mulai merokok, lalu pengaruh paling besar seorang perokok itu dari mana, apakah dari keluarga, orang tua atau dari iklan yang berseliweran. Itu kita akan lihat Perda KTR ini punya dampak atau tidak, ada hasilnya atau tidak. Dijadwalkan selesai akhir tahun datanya sudah ada,” pungkas wanita berkacamata itu. (ryn/c/yok/py)