METROPOLITAN – Adanya laporan dugaan pemalsuan dokumen administrasi yang dilakukan tiga peserta didik baru sebagai syarat pendaftaran sistem zonasi, membuat Wali Kota Bogor, Bima Arya, merekomendasikan tiga nama itu didiskualifikasi Kantor Cabang Dinas (KCD) Provinsi Jawa Barat. Hal ini tentu akan melibatkan Dewan Pendidikan, Dinas Pendidikan, lurah dan camat. “Jika nama-nama itu terbukti, kami akan meminta dinas terkait mendiskualifikasi,” ancam Bima saat ditemui wartawan koran ini, kemarin.
Secara keseluruhan, sambung Bima, situasi ini sudah cukup untuk merekomendasikan kepada pemerintah pusat agar sistem zonasi dievaluasi. Sebab, ini tidak sesuai target untuk membangun asas keadilan dalam hal kualitas pendidikan.
“Kualitas lembaga pendidikan atau sekolah justru menurun. Yang kedua menciptakan budaya instan dari anak-anak yang kemudian malas berusaha mengejar lobi instan ataupun kos di sekitar tempat yang diinginkan. Ada juga praktik manipulasi yang terjadi karena sistem administrasi kependudukan masih lemah,” tuturnya.
Dalam waktu dekat, Bima mengaku permasalahan yang berdampak luas terhadap generasi muda di Indonesia itu akan dibawa dalam Forum Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) di Semarang untuk menyampaikan suara wali kota.
“Saya sudah minta ke disdik untuk sementara ada tiga nama yang diserahkan, masalah responsnya bagaimana kan tergantung SMA-nya dan inilah kelemahan kita. Pemkot tidak bisa masuk wilayah SMA. Kalau itu kewenangan kita, ya saya akan perintahkan kepala sekolah saat ini juga untuk mendiskualifikasi,” tegasnya.
Ia menjelaskan, sistem zonasi memerlukan fase tahapan, sehingga bobotnya harus lebih besar pada kompetensi baru agar proporsinya lebih diperhatikan untuk ekonomi yang lebih membutuhkan. “Kalau ada ASN yang terlibat di dalamnya, kami tak segan memberhentikannya,” ujarnya.
Akan tetapi, ia menilai tingkat kesalahan yang dilakukan. Ia sebagai juru bicara Apeksi akan menyampaikan permasalahan ini ke presiden agar kewenangan SMA harus dikembalikan. Harus di-share review ke Mahkamah Konstitusi, karena masuk dalam undang-undang pimpinan daerah. “Mulai diberikan surat peringatan hingga usulan pemberhentian. Menurut saya harus ada yang dirugikan dan melaporkan, sehingga bisa menjadi pidana, bisa saja pemkot melapor ke kepolisian agar menjadi pidana pemalsuan dokumen,” tegasnya.
Perihal domisili berbayar, sambung dia, hingga saat ini masih ditelusuri lantaran belum ditemukan bukti yang kuat. Tapi informasi yang diterimanya, terdapat aduan warga bahwa untuk mendapatkan domisili adanya pungutan liar dengan nilai yang sangat fantastis.
“Itu angkanya ada yang bilang Rp1 hingga Rp2 juta, kemudian ada juga informasi hingga Rp10 juta. Semua saya sampaikan kami perlu buktinya. Tim ini yang nantinya akan mendalami itu. Kelihatannya ini membayarnya pada satu orang dan satu orang ini kemudian bisa jadi membagikan itu kepada yang terlibat siapa saja. Indikasi ini ada calo domisili,” bebernya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Bogor, Sujatmiko Baliarto, berkomitmen untuk melakukan upaya secara mendalam dan seleksi secara transparan serta akan memeriksa keabsahan administrasi kependudukan secara menyeluruh.
“Kita akan bersama-sama melakukan re-checking. Informasi yang masuk kemarin sempat dicek di mana ada sebuah indikasi titip alamat mendekatkan ke lokasi sekolah yang ingin jadi target untuk bisa masuk ke sekolah yang dituju,” tukasnya. (cr1/c/yok/py)