METROPOLITAN – Semrawutnya sistem zonasi saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 tingkat SMA sederajat di Kota Bogor, mengundang reaksi keras dari sejumlah pihak. Mulai dari wali kota Bogor, Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bogor, pengamat pendidikan hingga Dewan Pendidikan (Wandik).
Kisruh PPDB tahun ini menjadi pembicaraan hangat di tengah masyarakat. Terlebih pasca-adanya temuan identitas palsu beberapa waktu lalu di Gang Selot, Nomor 18, RT 04/08, Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, yang otomatis menjadi salah satu indikator gagalnya sistem zonasi.
Ketua Wandik Kota Bogor, Deddy Djumiawan Karyadi, menjelaskan, kisruh ini merupakan dampak negatif diterapkannya zonasi PPDB SMA tahun ini. Ia menilai penggunaan zonasi tanpa melibatkan Nilai Ebtanas Murni (NEM) merupakan kesalahan terbesar yang dilakukan disdik provinsi tahun ini.
Sebab, untuk pembuatan petunjuk pelaksana (juklak) petunjuk teknis (juknis) PPDB SMA sederajat dilakukan jajaran pemerintah provinsi (pemprov). Dalam pembuatannya, Disdik Jawa Barat sama sekali tidak memasukkan Nilai Ujian Nasional (NUN) atau Nilai Ebtanas Murni (NEM) dalam persyaratan PPDB tahun ini. “Mereka tidak menggunakan sistem skoring. Mereka benar-benar memakai peta berapa meter jarak rumah ke sekolah, ini yang membahayakan. NEM sama sekali tidak dipakai,” terangnya.
Deddy menyayangkan Disdik Jawa Barat menyamaratakan setiap daerah yang ada. Padahal, setiap daerah memiliki karakteristik wilayah yang berbeda. “Kenapa tidak diterapkan formula yang tepat sesuai kebutuhan wilayah. Kalau pakai jarak, otomatis hanya bergantung pada paling dekat. Yang terparah NEM sama sekali tidak berguna. Ini yang perlu jadi catatan dan amat kami sayangkan,” tegasnya.
Terpisah, Kepala Disdik Kota Bogor, Fahrudin, menilai perlu adanya evaluasi menyeluruh mengenai konsep PPDB 2019, terlebih pada tingkatan SMA sederajat. Tak hanya itu, mekanisme PPDB seharusnya melibatkan sejumlah unsur untuk memastikan data dari calon peserta didik yang mendaftar, khususnya validasi zonasi itu sendiri. ”Perlu adanya evaluasi kembali, khususnya di sektor zonasi itu sendiri. Kita perlu melibatkan lurah, camat dan disdukcapil untuk memastikan zonasi tempat tinggal calon peserta didik,” ujarnya.
Menurut Fahrudin, kisruh PPDB tingkat SMA sederajat disebabkan dua faktor inti. Ketidaksiapan masyarakat dalam menerima kebijakan hingga teknik pelaksanaan kebijakan itu tersendiri. Sistem zonasi belum siap sepenuhnya dan terdapat sejumlah kendala, seperti sistem administrasi kependudukan. “Saat itu kami menerima laporan kecenderungan manipulasi Kartu Keluarga (KK),” bebernya.
Ia menilai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018 terkait PPDB 2019 belum siap diterapkan pada daerah yang masih tertinggal soal administrasi dan infrastruktur. Sebab saat ini belum merata dan terdapat wilayah yang ketersediaan sekolahnya ada, namun infrastrukturnya belum memadai, begitupun sebaliknya.
”Semua permasalahan ini berawal dari kesiapan masyarakat menerima kebijakan ini. Artinya, sosialisasi harus lebih ditingkatkan. Kita juga perlu mengevaluasi sistem zonasi, karena semuanya perlu pengalaman. Terlebih permasalahan tekniknya yang perlu ada perbaikan dan evaluasi khusus,” tandasnya. (ogi/c/yok/py)