Senin, 22 Desember 2025

Zonasi Picu Penipuan Domisili

- Jumat, 5 Juli 2019 | 12:59 WIB

METROPOLITAN – Pelaksanaan Pe­nerimaan Pe­serta Didik Baru (PPDB) 2019 berbasis zonasi menimbulkan polemik baru lantaran terku­aknya dugaan mani­pulasi alamat oleh oknum orang tua murid yang terjegal kebijakan tersebut, namun mencoba masuk ke sekolah favorit.

Wali Kota Bogor, Bima Arya, sempat melakukan inspeksi mendadak (sidak) dan me­nemukan kasus tersebut da­lam PPDB di SMAN 1 Kota Bogor, di mana tiga siswa diduga memanipulasi domi­sili agar masuk sistem zo­nasi. F1 kini tengah menunggu surat balasan dari KCD Provinsi Jawa Barat terkait hal ini.

Meskipun bisa digolongkan pe­nipuan, kepolisian belum bisa memroses kejadian itu sebagai se­buah perkara. Apalagi, belum ada laporan ke pihak kepoli­sian sebagai dasar penyelidi­kan.

Kasat Reskrim Polresta Bogor Kota, Kompol Agah Sonjaya, mengaku tak bisa meninda­klanjuti perkara dugaan ma­nipulasi data domisili demi bisa diterima sekolah favorit itu. Meskipun sempat disidak orang nomor satu di Pemkot Bogor lantaran tidak ada lapo­ran yang masuk untuk bisa memroses perkara ini. “Ini ditengarai bisa memicu modus baru manipulasi alamat demi masuk skema zonasi di sekolah tertentu. Belum ada laporan (terkait hal itu, red) sampai saat ini. Kita kan bergerak berdasarkan itu,” ungkap Agah kepada Metropolitan, kemarin.

Pelaksanaan PPDB berbasis zonasi yang menuai polemik disebut-sebut sebagai kesalahan, karena tidak dilakukan berdasarkan pertimbangan matang. Apalagi, tiap daerah memiliki persoalan berbeda-beda. ”Penerapan zonasi tahun ini tidak menunjukkan kompetisi yang bagus, kalau mau meningkatkan kualitas,” kata pengamat pendidikan Kota Bogor, Bibin Rubini.

Bahkan, rektor Universitas Pakuan (Unpak) Bogor itu berpendapat sebaiknya PPDB berbasis zonasi dievaluasi dan diganti dengan sistem seleksi tanpa melihat domisili. ”Lebih baik seleksi saja,” imbuhnya. Berkaca pada situasi Kota Bogor, di mana penyebaran sekolah negeri masih belum merata. Ini seharusnya menjadi pertimbangan sebelum menerapkan skema zonasi. Sebagian besar sekolah negeri berada di pusat kota atau Kecamatan Bogor Tengah. Padahal, jumlah penduduknya masih kalah banyak dibanding wilayah lain. ”Akhirnya pergerakan warga mencari sekolah berpusat ke tengah (kota),” terang Bibin.

Sehingga, tambah dia, perlu ada pemerataan kualitas sekolah, baik infrastruktur hingga jumlah guru di suatu wilayah jika ingin menerapkan skema zonasi. Zonasi juga dianggap berseberangan dengan hak warga negara dalam memperoleh pendidikan di mana saja tanpa ada pembatasan. ”Pemerintah wajib menyediakan itu. Tingkatkan dulu yang di pinggiran kota. Bukan cuma fasilitas, kualitas guru di pinggiran juga harus Bagus. Itu baru pemerataan,” ujarnya.

Pendapat tak kalah pedas dilontarkan Rektor Universitas Djuanda Bogor, Dede Kardaya. Ia menilai zonasi berkebalikan dengan kemajuan teknologi terkini di era digital. Saat ini kualitas sekolah negeri di pusat kota ’lebih kinclong’ dibanding di pinggiran. Tak ayal berebut kursi ke tengah kota. ”Jadi cukup seleksi saja. Kalaupun ada kuota, idealnya maksimal 50-75 persen lah. Supaya tetap memberikan kesempatan yang lebih luas,” paparnya.

Lalu, pemerintah juga harus memastikan kualitas yang sama antara sekolah swasta dan negeri untuk menghilangkan dikotomi kedua jenis sekolah itu. Dede menyarankan pemerintah tak lagi menerapkan sistem zonasi dalam PPDB berikutnya. Cukup dengan seleksi siswa.

“Jangan menjegal hak anak mendapatkan pendidikan bagus. Kita tahu swasta kan tidak murah (biayanya, red), berbeda dengan negeri. Kualitasnya juga terkadang dipandang sebelah mata. Ini tugas pemerintah kalau mau pemerataan,” jelas pria berkacamata itu.

Sementara itu, Sekretaris Dinas Kesehatan (Disdik) Kota Bogor, Jana Sugiana, enggan berkomentar terkait kisruh evaluasi zonasi PPDB di Kota Hujan. Ia bersikeras keterangan harus diberikan kepala disdik. “Harus langsung dengan pak kadis itu mah,” ujarnya.

Hingga berita ini diturunkan, Kepala Disdik Kota Bogor, Fahrudin, belum bisa memberikan keterangan lantaran masih mengikuti kegiatan Apeksi di Semarang, Jawa Tengah. “Nanti ya (teleponnya),” singkatnya. (ryn/c/yok/py)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X