METROPOLITAN - Sebagai kota penyangga ibu kota DKI Jakarta, Kota Bogor rupanya terdampak peningkatan kadar polusi udara akibat pertumbuhan perkotaan, baik sektor wisata maupun kawasan pemukiman. Dari sebelas indikator bahan pencemar yang diukur rata-rata di 30 titik se-Kota Bogor, ada dua indikator pencemaran yang mengalami kenaikan drastis, yakni karbonmonoksida dan hidrokarbon.
Direktur Research PI AREA Consulting, Assosiate Partner/Researcher Pusat Studi Bencana IPB, Ni Wayan Srimani Puspa Dewi, mengatakan, dari penelitian yang dilakukan sejak 2013-2017 tingkat karbonmonoksida dan hidrokarbon di Kota Bogor cenderung meningkat. Sejak itu, tingkat karbonmonoksida (CO2) sebesar 2520,37, turun pada 2014 menjadi 2071,93. Jumlah itu terus menurun pada 2015 menjadi 1547,60 dan pada 2016 ada di posisi 358,72.
”Lalu pada 2017 kadar CO2 melonjak jadi 4346,83. Jumlah itu tinggi, meskipun jumlah itu masih di bawah baku mutu yang ada yakni 10.000,” terangnya kepada Metropolitan, kemarin.
Selain itu, sambung dia, kadar hidrokarbon di Kota Bogor juga meningkat tajam sejak 2013 yang saat itu berada pada 24,73. Sempat turun berturut-turut hingga 2016 yakni menjadi 22,73 lalu turun menjadi 20,10 dan 9,60 pada 2016. ”Nah, pada 2017 malah melonjak jadi 124,50. Sedangkan baku mutunya di angka 160, jadi masih aman sih,” ujarnya.
Tak hanya itu, pihaknya juga melihat ada peningkatan kadar debu pada 2016-2017 dari 21,88 menjadi 56,33. Padahal sebelum 2016 ada tren penurunan cukup baik. Pada 2013 kadar debu sempat berada di angka 146,63 kemudian turun pada 2014 menjadi 114,87 dan melorot ke angka 21,88 pada 2016.
”Biasanya pencemar udara di perkotaan itu industri dan kendaraan, transportasi lah. Keduanya sumber utama dari kendaraan. Pembakaran yang tidak sempurna dari mesin kendaraan. Hidrokarbon juga merupakan gas buang kendaraan,” ujarnya.
Melihat konsentrasinya yang belum melewati batas ambang baku mutu, udara di Kota Hujan bisa dikatakan masih baik. Namun ia mengingatkan perlu adanya aksi untuk tetap menjaga kualitas udara Kota Bogor lantaran ada beberapa indikator yang meningkat drastis. ”Harus ada antisipasi dari pemerintah supaya tren peningkatan ini jadi perhatian,” imbuhnya.
Srimani menilai ada lima langkah preventif untuk menjaga kadar polusi kendaraan bermotor, yakni manajemen transportasi massal yang baik, misalnya transportasi umum dibuat lebih nyaman, lebih ramah lingkungan dengan bahan bakar seperti biosolar atau listrik. Sehingga masyarakat lebih memilih naik kendaraan umum daripada kendaraan pribadi.
Kedua, pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kawasan dengan target minimal 30 persen. Misalnya dengan mengembangkan rooftop garden untuk mengatasi keterbatasan lahan. Ketiga, ada pengujian emisi kendaraan dilakukan di semua lokasi di Bogor. Lalu, penerapan batas usia kendaraan. Kelima, pembangunan dan perbaikan fasilitas pejalan kaki seperti trotoar yang memadai dan ramah pejalan kaki, jalur penyeberangan jalan yang memadai serta penanaman pepohonan di pinggir trotoar.
”Terakhir, pengadaan atau pengembangan alat pemantau pencemaran udara berkala, misalnya sistem atau alat perhitungan ISPU secara real time,” terangnya.
Senada, Pengamat Tata Kota Universitas Pakuan, Budi Arief, berpendapat peningkatan polusi udara selaras dengan perkembangan perkotaan, seperti di Kota Bogor. Peningkatan jumlah kendaraan yang ada di jalan, mau tidak mau berkontribusi terhadap adanya peningkatan karbonmonoksida dan hidrokarbon.
”Dampak signifikan dari kendaraan untuk polusi udara yang pakai bahan bakar bukan gas, baik umum atau pribadi. Ini tugas pemerintah untuk antisipasi. Sebab, perkembangan Kota Bogor, baik wilayah dan konsep kota harus memikirkan dampak lingkungan,” pungkasnya. (ryn/c/yok/py)