Senin, 22 Desember 2025

Menyoal Perda KTR dan Pertemuan AP-CAT

- Sabtu, 12 Oktober 2019 | 09:07 WIB
DIALOG: Jaringan Wartawan Bogor menggelar Dialog Publik bertemakan ‘Ada Apa di Balik AP-CAT, Perda Bukan Alat Menggalang Donasi Asing’, Kamis (10/10)
DIALOG: Jaringan Wartawan Bogor menggelar Dialog Publik bertemakan ‘Ada Apa di Balik AP-CAT, Perda Bukan Alat Menggalang Donasi Asing’, Kamis (10/10)

METROPOLITAN – Penerapan Peraturan Daerah (Perda) nomor 12 tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), yang kemudian direvisi menjadi Perda Nomor 10 tahun 2018, terus menuai kontroversi. Setelah sempat diwarnai aksi dari masyarakat adat yang keberatan tentang aturan tersebut, Kota Bogor malah menjadi tuan rumah gelaran Asia Pasific-Cities Aliance for Tobacco Control (AP-CAT) Summit dalam kampanye kontrol dan pembatasan konsumi rokok para pemerintah dan lembaga pemerintah se-Asia Pasifik. Hal itu menjadi polemik dari sejumlah lembaga hingga komunitas tembakau, mulai dari kekuatan hukum perda KTR, jadi alat ‘donasi asing’ hingga ironi penerapan Perda KTR dengan pendapatan daerah.  Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Muhammad Nur Azami, menilai, Perda KTR milik Kota Bogor bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012, tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Selain itu, besarnya pendapatan Kota Bogor dari sektor tembakau nyatanya cukup tinggi. “Agak naif Wali Kota Bogor, kalau bicara kota ini bebas dari pendapatan yang sumbernya dari industri hasil tembakau. Kita lihat saja Peraturan Menteri Keuangan dalam pembagian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCT), Kota Bogor mendaparkan dana sampai Rp4 miliar untuk 2019 ini,” katanya saat dialog publik yang digelar Jaringan Wartawan Bogor (Jawab) bertemakan ‘Ada Apa dibalik AP-CAT, Perda Bukan Alat Menggalang Donasi Asing’, di bilangan Jalan Pakuan,  Kamis (10/10). Jumlah itu pun, sambung dia, meningkat dibandingkan dengan tahun anggaran 2018, dimana saat itu pendapatan dari DBCHT Kota Bogor berada di kisaran Rp3 miliar. Padahal sumber dari industri hasil tembakau lainnya didapat dari komponen sebatang rokok itu sendiri, yang sedang ‘dibatas-batasi’. Dimana didalamnya ada cukai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRB) dan Pajak Pendapatan Negara (PPN). “Dari kedua sektor itu, kan di transfer dari pusat, nanti akan dialokasikan ke daerah, termasuk Kota Bogor. Karena Kota Bogor kan masih boleh menjual rokok, masih ada produk hasil tembakau,” ujarnya. Tak cuma itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Ali Rido, berpendapat secara teoritis, sebuah konvensi internasional dapat kemudian diberlakukan ataupun diadopsi ke dalam regulasi di dalam peraturan perundang-undangan, namun setelah melewati ratifikasi negara yang bersangkutan. Menurutnya, Framework Convention on Tobacco Control (FCTP) saat ini baru sampai pada usulan naskah akademik untuk diratifikasi oleh indonesia, dimana pengusulnya yakni Komnas HAM “Tapi sampai sekarang tidak ada follow-up nya seperti apa. Belum meratifikasi. Maka kalau kemudian ada dropping langsung konvensi internasional ke dalam jenis peraturan pemerintah dan peraturan daerah itu sudah jelas menyalahi. Sudah bukan sesat lagi, entah apa namanya," katanya. Maka, kata dia, kesalahannya ada disitu. Sebab pada Undang-undang nomor 36 tahun 2009 saja tidak begitu jelas mengatur persoalan kawasan KTR. Tidak seperti Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2012 dan perda di daerah lainnya. Sebab, negara sadar posisi ini, dimana mereka belum melakukan ratifikasi. “Perda KTR di Kota Bogor berpotensi cacat hukum,” ujarnya. Yang menjadi persoalan, kata dia, eksekutif yang membuat aturan itu tidak sadar tentang konteks ratifikasi itu harus dengan undang-undang dulu dan tidak boleh langsung ‘dropping’ kedalam PP. "Perda pada prinsipnya itu kan harus mencirikan satu hal, yaitu aspek sosiologis yang itu erat kaitannya dengan kearifan lokal kalau kemudian isinya materi muatannya itu kok nafasnya adalah nafas internasional. Jadi sejatinya sebuah daerah yang hidup itu di ranah internasional atau dalam lokal, karenanya isi dari sebuah perda harus cerminan dari kearifan lokal yang ada di suatu daerah," pungkasnya. (ryn/c/yok)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X