Senin, 22 Desember 2025

Setiap Tahun Lahan Serapan Air Berkurang

- Senin, 14 September 2020 | 10:55 WIB

METROPOLITAN – Berkurangnya lahan serapan air dan kerap terjadinya long­sor di kawasan Puncak, membuat sejumlah pihak angkat bicara. Tak terkecuali Sekretaris Jenderal (Se­kjen) Masyarakat Adat Puncak (MAP), Edison. Ia bahkan menduga adanya mafia-mafia tanah yang membuat kawasan Puncak menjadi ‘botak’. Hal itu bukan tanpa alasan. Kawasan Puncak yang sejatinya menjadi kawasan resapan air perlahan mulai beralih fung­si. Hutan pohon kini disulap menjadi hutan beton berben­tuk vila. “Puncak sudah be­ralih fungsi, bukan lagi men­jadi daerah resapan air. Tapi menjadi pundi-pundi uang bagi mafia tanah,” ketusnya kepada Metropolitan. ­ Bangunan yang berdiri tegak yang memadati kawasan Pun­cak bukan berdiri dengan sendirinya. Namun ada pihak-pihak yang ‘bermain’ untuk mengalihfungsikan lahan. “Saya juga sempat singgung mengenai lahan milik PT Gu­nung Mas yang pada 1997 perusahaan berpelat merah itu memiliki lahan 2.558 hek­tare. Boleh cek sekarang, pa­ling yang produktif hanya kurang lebih 300 hektare,” tegas pria yang juga berpro­fesi sebagai lawyer tersebut. Seperti yang terjadi pada perkebunan Ciliwung. Perke­bunan Ciliwung merupakan pemegang sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) aktif. Pa­dahal, perkebunan Ciliwung tidak pernah merasa mengelu­arkan sertifikat hibah atau surat–surat lainnya, seperti penjualan kepada pihak ma­na pun. “Lah kok tiba-tiba, terbit Nomor Induk Identitas (NIB) lahan seluas 5.712 me­ter persegi yang terletak di Desa Cisarua, Kecamatan Cisarua, Kabuapten Bogor. Padahal, lahan itu masih ber­sertifikat HGU aktif,” bebernya. Edison mengklaim dirinya telah mengantongi data-data dan fakta-fakta terkait pener­bitan NIB oleh Badan Per­tanahan Nasional (BPN) Ka­bupaten Bogor. “Ini baru satu kasus loh, saya pegang datanya ada beberapa juga terjadi hal yang sama di per­kebunan lain seperti PT Gu­nung Mas. Modusnya sama, HGU Masih aktif, tapi sudah terbit NIB atas nama lain,” bebernya. Informasi itu ternyata sam­pai ke telinga Inspektorat Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Per­tanahan Nasional (ATR/BPN), Sunrizal. Ia menjelaskan jika perkebunan masih berbentuk peta bidang, maka penerbitan sertifikat dalam bentuk apa pun harus disetop. “Harus diteliti dulu, tidak bisa langs­ung terbitkan sertifikat. Apa­lagi masih dalam bentuk peta bidang,” imbuhnya. Terlebih jika sudah ada ser­tifikat hak, seperti HGU, Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik (HM), maka NIB tidak bisa diterbitkan. “Jika masih diterbitkan juga, itu jelas menyalahi prosedur dan akan kami tindak tegas,” pa­parnya. Sementara saat dikonfir­masi terpisah, Kepala Kantor (Kakan) Agraria Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Bogor, Sepyo Achanto, justru me­minta data koordinatnya. “Bisa minta data koordinat­nya?” ujarnya saat dikonfir­masi melalui pesan singkat. Saat disinggung mengenai informasi adanya informasi surat sebagai bentuk kebera­tan atas terbitnya NIB di lahan HGU yang masih aktif, Sepyo Achanto berdalih jika surat yang masuk jumlahnya ratu­san. “Kalau saya diberi copy suratnya pak untuk melacak, surat masuk jumlahnya ratu­san. Koordinat kami tunggu ya pak. Wilayah Kabupaten Bogor luas, produk ribuan, kalau tidak ada data dikha­watirkan ada kesalahan. Un­tuk hal tersebut secara nor­matif dan ketentuan tidak akan dikeluarkan NIB tanpa ada pelepasan dari pemegang HGU,” pungkasnya. (ogi/suf/ py)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X