METROPOLITAN – Berkurangnya lahan serapan air dan kerap terjadinya longsor di kawasan Puncak, membuat sejumlah pihak angkat bicara. Tak terkecuali Sekretaris Jenderal (Sekjen) Masyarakat Adat Puncak (MAP), Edison. Ia bahkan menduga adanya mafia-mafia tanah yang membuat kawasan Puncak menjadi ‘botak’. Hal itu bukan tanpa alasan. Kawasan Puncak yang sejatinya menjadi kawasan resapan air perlahan mulai beralih fungsi. Hutan pohon kini disulap menjadi hutan beton berbentuk vila. “Puncak sudah beralih fungsi, bukan lagi menjadi daerah resapan air. Tapi menjadi pundi-pundi uang bagi mafia tanah,” ketusnya kepada Metropolitan. Bangunan yang berdiri tegak yang memadati kawasan Puncak bukan berdiri dengan sendirinya. Namun ada pihak-pihak yang ‘bermain’ untuk mengalihfungsikan lahan. “Saya juga sempat singgung mengenai lahan milik PT Gunung Mas yang pada 1997 perusahaan berpelat merah itu memiliki lahan 2.558 hektare. Boleh cek sekarang, paling yang produktif hanya kurang lebih 300 hektare,” tegas pria yang juga berprofesi sebagai lawyer tersebut. Seperti yang terjadi pada perkebunan Ciliwung. Perkebunan Ciliwung merupakan pemegang sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) aktif. Padahal, perkebunan Ciliwung tidak pernah merasa mengeluarkan sertifikat hibah atau surat–surat lainnya, seperti penjualan kepada pihak mana pun. “Lah kok tiba-tiba, terbit Nomor Induk Identitas (NIB) lahan seluas 5.712 meter persegi yang terletak di Desa Cisarua, Kecamatan Cisarua, Kabuapten Bogor. Padahal, lahan itu masih bersertifikat HGU aktif,” bebernya. Edison mengklaim dirinya telah mengantongi data-data dan fakta-fakta terkait penerbitan NIB oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bogor. “Ini baru satu kasus loh, saya pegang datanya ada beberapa juga terjadi hal yang sama di perkebunan lain seperti PT Gunung Mas. Modusnya sama, HGU Masih aktif, tapi sudah terbit NIB atas nama lain,” bebernya. Informasi itu ternyata sampai ke telinga Inspektorat Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Sunrizal. Ia menjelaskan jika perkebunan masih berbentuk peta bidang, maka penerbitan sertifikat dalam bentuk apa pun harus disetop. “Harus diteliti dulu, tidak bisa langsung terbitkan sertifikat. Apalagi masih dalam bentuk peta bidang,” imbuhnya. Terlebih jika sudah ada sertifikat hak, seperti HGU, Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik (HM), maka NIB tidak bisa diterbitkan. “Jika masih diterbitkan juga, itu jelas menyalahi prosedur dan akan kami tindak tegas,” paparnya. Sementara saat dikonfirmasi terpisah, Kepala Kantor (Kakan) Agraria Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Bogor, Sepyo Achanto, justru meminta data koordinatnya. “Bisa minta data koordinatnya?” ujarnya saat dikonfirmasi melalui pesan singkat. Saat disinggung mengenai informasi adanya informasi surat sebagai bentuk keberatan atas terbitnya NIB di lahan HGU yang masih aktif, Sepyo Achanto berdalih jika surat yang masuk jumlahnya ratusan. “Kalau saya diberi copy suratnya pak untuk melacak, surat masuk jumlahnya ratusan. Koordinat kami tunggu ya pak. Wilayah Kabupaten Bogor luas, produk ribuan, kalau tidak ada data dikhawatirkan ada kesalahan. Untuk hal tersebut secara normatif dan ketentuan tidak akan dikeluarkan NIB tanpa ada pelepasan dari pemegang HGU,” pungkasnya. (ogi/suf/ py)