Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Bogor menggelar Orientasi Kewartawanan dan Keorganisasian (OKK) di Hotel Bogor Valley, Kota Bogor, Sabtu (31/10). Puluhan wartawan Kota dan Kabupaten Bogor mengikuti kegiatan bertema ’Memahami Produk Jurnalistik, Menjalankan Kode Etik di Tengah Kemerdekaan Pers’ itu. SETELAH beberapa periode, OKK kembali digelar tahun ini. Meskipun molor karena terbentur pandemi Covid-19, Ketua PWI Kota Bogor, Arihta Surbakti, mengaku bangga OKK tahun ini bisa terselenggara dengan baik. Sebab, PWI beberapa waktu lalu sempat berada pada masa suram. ”Sebagai organisasi itu ibarat kopi, tinggal ampas. Tapi kita berprinsip bagaimana terisi kembali. Kita upayakan banyak hal. Salah satunya ini harus diisi ’air bersih’. Nah, peserta ini lah akan jadi ’air bersih’ yang akan membersihkan PWI ke depan,” katanya. Walau diadakan saat pandemi, tetap tidak mengurangi kualitas materi dan kegiatan serta output yang dihasilkan. Materi tersebut meliputi kode etik jurnalistik hingga wawasan tentang PWI. Ia menambahkan, peserta yang ikut serta merupakan jurnalis media mainstream yang setiap hari berkutat dengan berita dan tulisan. Sehingga OKK dirasa tak akan sulit karena sama seperti menjalankan keseharian. ”Ada ujian yang harus dijalani dan syarat mutlak, nggak kesulitan lah dalam menulis berita, jadi nggak kesulitan juga ikut OKK. Kami juga mengapresiasi dukungan dari Pemkot Bogor sehingga ini bisa terlaksana,” tukas Ari. Sementara itu, Wali Kota, Bima Arya, menaruh perhatian terhadap kesamaan antara politisi dengan wartawan yang punya dua orientasi, yakni mata pencaharian dan pengabdian. Namun pada kenyataannya, irisannya seringkali tidak ’hitam putih’. Ada beberapa tantangan dan godaan yang kerap menghampiri politisi dan wartawan. Salah satunya tantangan menjaga nurani. ”Politisi senior, founding father kita dan wartawan senior, semuanya orang-orang yang istikamah menjaga nurani. Mulai kiprah awal sampai menutup mata, nuraninya betul-betul terjaga. Jadi, wartawan dan politisi sama. Godaannya terjebak pada kepentingan owner. Kalau politisi, owner-nya ya ketum partai. Kalau ketum partai bilang A ya harus A, padahal nurani kita B. Maka nurani kita tergadaikan, baik kepentingan politik atau bisnis,” bebernya. ”Begitu pula dengan wartawan. Di saat wartawannya idealis, namun owner-nya pragmatis, maka di situlah pertarungannya. Kalau membangkang, tentu sama-sama keluar. Atau tetap di situ tapi tergadaikan idealias dan nuraninya. Selain itu, dulu tidak mudah jadi politisi atau wartawan karena ada proses. Namun belakangan, banyak politisi yang tidak pernah ikut pelatihan atau pendidikan politik bisa muncul dengan modal,” sambungnya. ”Seumur-umur nggak sentuh politik, tapi tiba-tiba masuk saat pilkada. Punya modal, proses singkat, ya jadi. Wartawan dulu juga proses pelatihan sampai sertifikasi, nggak mudah. Sekarang kan gampang orang ngaku pers. Gampangnya, kalau abal-abal pasti bilang dari pers, kalau wartawan pasti langsung sebut medianya. Ada kebanggaan korps. Jadi kedua-duanya sama-sama banyak yang instan sekarang ini,” jelasnya. Tak cuma itu, wartawan dan politisi juga sama-sama bertarung soal presisi dan akurasi. Jika akhirnya memunculkan hoaks atau asal ngomong, tentu akan berdampak di masyarakat. Kedua bidang itu kini harus pandai berinovasi. Jika wartawan tidak mampu berkreasi dan berinovasi, maka akan dimakan arus mainstream hari ini. ”Politisi juga sama. Kalau pakem, model, komunikasi dan gaya lama, copy paste APBD, business as usual, ya tidak bisa. Jadi tantangan kita sama. Menjaga nurani, membangun akurasi dan melakukan inovasi. Insya Allah Pemkot Bogor siap bersinergi selama berlandaskan nurani,” tuntasnya. (ryn/mam/py)