METROPOLITAN - Polemik pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) perubahan nama atas Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) semakin meruncing. Peluang Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor menyehatkan kembali perusahaan yang sudah mati suri sejak 2017 ini semakin mengecil, setelah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor Atang Trisnanto menyatakan setuju jika Tim Panitia Khusus (Pansus) hendak mempailitkan PDJT. ”Saya setuju kalau PDJT mau dipailitkan. Dengan begitu, kita punya opsi lebih luas untuk mengembangkan pelayanan transportasi di Kota Bogor,” kata Atang saat ditemui di ruangannya, Rabu (25/11). Atang pun menyodorkan beberapa opsi. Salah satunya dengan menggandeng perusahaan profesional, di mana perusahaan tersebut tidak memerlukan suntikan pemerintah, namun tetap memungkinkan mereka (pihak ketiga) mendapatkan share modal dari masyarakat. ”Jadi, bentuknya bukan Perumda, namun Perseroda dan segala macam. Ditambah lagi nanti ketika bentuknya layanan kepada masyarakat, ini nanti bisa berupa penugasan kepada pemerintah daerah berupa Public Service Obligation (PSO) dalam konteks transportasi publik itu bisa dikerjasamakan,” jelasnya. Opsi untuk mempailitkan PDJT ini, menurut Atang, merupakan bentuk pertanggungjawaban Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor, khususnya Wali Kota Bogor, Bima Arya selaku KPM dari PDJT. Desas-desus pengajuan Raperda agar menutup dosa Pemkot Bogor pun ditanggapi Atang. Menurutnya, seharusnya ada pertanggungjawaban dari uang negara kepada KPM yang sampai saat ini belum dipegang pihak DPRD. ”Ya, apa pun yang kita lakukan harus dipertanggungjawabkan, apalagi menggunakan APBD. Walaupun dalam konteks itu uang perusahaan, dalam sejarahnya kan ada penyertaan modal dari pemkot. Bagaimana pun, seberapa pun kecilnya atau besarnya uang APBD harus dipertanggungjawabkan,” tegasnya. Terpisah, Wakil Ketua DPRD Kota Bogor, Jenal Mutaqin, mengatakan, kondisi manajemen saat ini di PDJT yang ”hidup segan mati tak mau”, kemudian dibayang-bayangi piutang gaji karyawan yang belum terselesaikan, menjadi faktor utama jika tim pansus hendak mengajukan mempailitkan PDJT. ”Seperti apakah penyelesaiannya, karena banyak persoalan di PDJT. Sebagai perusahaan yang sedang sakit, memang ada sejumlah opsi, baik rencana menyehatkan dan memulihkan, baru nanti memajukan lagi dengan program dan suntikan dana. Tapi ini harus jelas,” ujar pria yang akrab disapa JM ini. Ia mengaku tak mau lagi melihat kondisi PDJT seperti 2015. Di mana setelah diberikan PMP sebesar Rp5,5 miliar, tetapi tidak ada kejelasannya. Bahkan, sejak saat itu, kondisi PDJT malah semakin parah hingga dinyatakan mati suri pada 2017. ”Jadi, ketika muncul opsi membubarkan PDJT itu atas dasar situasi kondisi yang dialami perusahaan pelat merah milik Kota Bogor yang tidak jelas,” tegasnya. Politisi Gerindra ini menambahkan, perlu diketahui secara publik apakah PDJT di Kota Bogor masih dibutuhkan. Apabila melihat fakta di lapangan bahwa bus-bus, apakah masih diminati masyarakat dan utamanya kondisi PDJT saat ini sedang tidak sehat. ”Jadi, nasib PDJT apakah dibubarkan atau dilanjutkan, semua akan dibahas di pansus. Tapi apabila memang berani mengajukan kepailitan kepada pengadilan, maka laksanakan. Karena perusahaan itu jelas sedang sakit dan tidak bisa berjalan,” terangnya. ”Semua keputusan ada di wali kota, mau mempertahankan PDJT atau mempertahankan dengan menyehatkan kembali, apakah dengan melakukan reformasi manajemen, merombak seluruh karyawan oleh yang fresh dan menyiapkan business plan, semuanya bisa dilakukan. Jadi ketika namanya BUMD tetap perusahaan itu menargetkan provit oriented atau pendapatan untuk daerah, tetapi jika di bawah naungan dinas atau BLUD, maka pelayanan utamanya,” bebernya panjang lebar.(dil/c/feb/py)