METROPOLITAN - Keberadaan halte di Kota Bogor semakin hari makin memprihatinkan. Sejumlah coretan vandalisme dan kaca-kaca halte yang pecah menjadi pemandangan saat berkunjung ke halte di Kota Bogor. Bahkan pasca berhentinya operasional bus TransPakuan, halte-halte tersebut kini beralih fungsi menjadi tempat PKL berjualan atau menjadi tempat Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) beristirahat. Melihat situasi tersebut, rupanya membuat anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor, Rifky Alayidrus, geram. Ia menilai Dinas Perhubungan (Dishub) seakan lepas tangan dari tanggung jawabnya untuk merawat salah satu aset di bidang transportasi ini. ”Ini kan jadi mubazir aset. Membangunnya semangat, tapi merawatnya tidak mau. Yang ada nanti malah pada rusak dan makin parah. Ini harus segera direvitalisasi,” kata Rifky saat ditemui Metropolitan di gedung DPRD, Senin (21/12). Rifky meminta pihak Dishub Kota Bogor melakukan monitoring setiap minggunya agar mengetahui kondisi nyata di lapangan, sehingga anggaran untuk pemeliharaan halte tidak terbuang sia-sia. ”Kalau perlu dilakukan monitoring satu minggu sekali, mutar dan lakukan pengecekan kelaikan shelter seperti apa. Kalau tidak dicek kan jadi tempatnya PMKS,” paparnya. Ia pun menyarankan Dishub Kota Bogor bisa memfungsikan halte semaksimal mungkin. Sebaiknya halte digunakan untuk tempat menunggu para penumpang angkot. ”Jadi, Dishub harus memberikan edukasi, baik kepada sopir angkot dan penumpang agar saat naik dan turun kendaraan umum di shelter yang sudah ada,” terangnya. Sementara itu, Kabid Sarana dan Prasarana (Sarpras) pada Dishub Kota Bogor, Islahudin, menerangkan, anggaran pemeliharaan halte tahun ini terkena dampak refocusing anggaran Covid-19. Berdasarkan data APBD 2020 Kota Bogor, anggaran untuk pemeliharaan halte sebesar Rp193 juta. ”Semua shelter pemeliharaannya oleh Dishub dan tahun ini tidak ada anggaran pemeliharaan karena terkena refocusing. Hampir semua anggaran kegiatan untuk penanganan Covid-19,” jelasnya. Islahudin menilai, rusaknya shelter TransPakuan ini dikarenakan adanya tangan-tangan jahil yang tidak bisa menjaga aset milik Kota Bogor. ”Jadi, halte itu rusak karena tidak ada anggaran pemeliharaan, selain adanya tangan-tangan jahil yang merusak halte,” ungkapnya. Terpisah, Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, menilai, Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor seharusnya berperan aktif dengan merawat halte-halte yang ada. Terlebih, halte merupakan fasilitas publik yang cukup penting. ”Jika salah satu program Pemkot Bogor ini penataan transportasi, seharusnya pemkot bisa mulai dengan membenahi halte-halte yang ada, bukan malah membiarkannya,” katanya. Dengan dibiarkannya halte-halte rusak tersebut, Djoko menilai, Pemkot Bogor seolah-olah sudah tidak memerlukannya. ”Kalau begitu kan seolah-olah warga Bogor tidak memerlukan halte. Padahal, halte merupakan instrumen penting dalam transportasi,” pungkasnya. (dil/b/mam/py)