METROPOLITAN - Selama pandemi sebagian anak-anak di Kabupaten Bogor kini menghadapi ancaman ganda. Selain penularan virus Covid-19 yang terus mengintai anak-anak di luar rumah, anak-anak yang di rumah saja pun tidak sepenuhnya aman. Data menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak yang dilakukan orang-orang terdekat terus meningkat selama di rumah. Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kabupaten Bogor juga mengakui menerima banyak laporan kekerasan anak pasca-KPAD dibentuk akhir 2020. Di masa pandemi ini, pengaduan-pengaduan itu masuk ke KPAD secara langsung dan daring (online). ”Sampai dua minggu lalu sudah ada 53 kasus yang masuk ke KPAD,” kata Ketua KPAD Kabupaten Bogor, Sofyan Ginting. Setelah kepengurusan KPAD dilantik sekitar empat bulan lalu, Sofyan mengakui sudah banyak perkara yang ditangani. Beberapa di antaranya kasus bullying di pondok pesantren, kemudian kasus kekerasan seksual yang cukup tinggi. ”Selain itu, juga penanganan kasus perselisihan hak asuh terhadap anak,” katanya. Berdasarkan literasi dan pengamatan di lapangan, sambung dia, lonjakan kasus saat pandemi terjadi pertama akibat tekanan ekonomi keluarga yang menyebabkan perilaku kekerasan dalam sebuah keluarga. Kedua, yakni faktor Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) yang juga berdampak terhadap timbulnya kekerasan. ”Karena ternyata banyak orang tua yang tidak siap menjadi guru pengganti di sekolah. Selanjutnya adalah pola asuh orang tua yang selama ini tidak memiliki kapasitas yang cukup,” katanya. Kehadiran KPAD ini diharapkan dapat meminimalisasi kasus kekerasan terhadap anak, bullying, pencabulan, termasuk diskriminasi terhadap anak. “Dari pengalaman para komisioner yang saat ini sudah bergerak di lapangan mulai banyak pengaduan kepada kami. Kami pun membuka kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat barangkali ada hal-hal yang perlu disampaikan kepada KAPD Kabupaten Bogor,” tambah Sekretaris KPAD Kabupaten Bogor, Erwin Suriana. Sementara itu, Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu, menyebutkan, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat lima kali lipat selama pandemi Covid-19. Sebelum virus corona melanda Indonesia, jumlah kekerasan terhadap anak tercatat sebanyak 2.851 kasus. Sedangkan setelah pandemi meningkat menjadi 7.190 kasus. Sementara kekerasan terhadap perempuan meningkat 1.913 kasus menjadi 5.551 kasus. Prabu -panggilan Pribudiarta- mengatakan, peningkatan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan ini bisa disebabkan berbagai hal. Misalnya, ketika sekolah tatap muka dialihkan menjadi daring, anak-akan kesulitan mencari tempat alternatif aman. Situasi pandemi juga membuat aktivitas dibatasi, sehingga kabar-kabar hoaks berpotensi besar meningkatkan stres. ”Risiko mendapatkan kekerasan eksploitasi secara online meningkat karena akses penggunaan internet anak-anak lebih lama,” kata Prabu. Selanjutnya, orang tua masih belum siap menjadi pembimbing untuk anaknya di rumah, menggantikan peran guru di sekolah. ”Kapasitas ibu belum memenuhi syarat. Akibatnya, tindak kekerasan fisik dan psikis pada anak terjadi saat seharusnya menerima pelajaran,” ujarnya. Tak hanya itu, sambung Prabu, perempuan juga memiliki potensi kerentanan mengalami kekerasan karena ketidakpastian ekonomi, kehilangan pekerjaan, kondisi tempat tinggal padat dan beban rumah tangga yang tinggi. ”Apalagi, situasi bencana membuat keluarga lebih lama untuk urusan rumah tangga (berpotensi menimbulkan perselisihan, red),” tuturnya. Prabu menambahkan, kasus kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi terkait pemaksaan berhubungan suami-istri. ”Ini juga kami dapat banyak laporan,” ujarnya. Bahkan, perubahan pada kondisi finansial keluarga akibat Covid-19 (kesulitan mengakses kebutuhan pokok, red) diyakini akan semakin memperburuk tekanan psikologi pada keluarga. (tib/jp/mam/py)