Menyikapi angka putus sekolah yang masih tinggi di Kota Bogor, Dewan Pendidikan Kota Bogor mengajukan beberapa langkah rekomendasi terhadap Dinas Pendidikan (Disdik) dan elemen terkait. Yakni dengan membuat pemetaan mengenai masalah yang terjadi di lapangan terhadap anak-anak yang mengalami putus sekolah. KETUA Dewan Pendidikan Kota Bogor, Deddy D Karyadi, mengatakan, dalam menangani angka putus sekolah diperlukan langkah-langkah yang sistematis, integratif dan koordinatif. Ditambah koordinasi bersama pemerintahan di tingkat kecamatan, kelurahan bahkan RT/RW. “Pemetaan dulu masalah di lapangan apa, dipetakan dengan data. Kerja sama dengan kelurahan, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil), Dinas Sosial (Dinsos), nanti kan ketahuan masalahnya apa. Baru dicari formula jalan keluarnya apa,” kata Deddy, Kamis (25/3). Selain merekomendasikan Disdik Kota Bogor untuk berkoordinasi dengan dinas dan elemen terkait, Deddy menyarankan Disdik agar melakukan mapping atau pendataan. Di mana dari pendataan tersebut bisa ditemukan wilayah mana yang tinggi angka putus sekolahnya. Tak hanya itu, penyebab mengapa anak-anak tersebut mengalami putus sekolah juga penting untuk didata. Dia menjelaskan beberapa alasan yang diungkapkan orang tua siswa bukan karena tidak mampu menyekolahkan, juga bukan karena kurangnya sekolah yang tersedia. “Tapi ada anak-anak yang ikut bantu kerja, bantu usaha orang tuanya. Ada juga yang orang tuanya menganggap anaknya cukup bisa baca tulis, selesai,” ujarnya. Deddy menambahkan, pada kasus putus sekolah di tingkah menengah, Dewan Pendidikan melihat adanya korelasi dengan masih sedikitnya jumlah SMP negeri di Kota Bogor. Diketahui, jumlah SMP negeri di Kota Bogor ada sebanyak 20 sekolah. Namun, jumlah tersebut tidak sebanding dengan jumlah SD negeri yang jumlahnya mencapai angka sekitar 200 sekolah. Dengan minimnya jumlah SMP negeri, Deddy mengatakan hal tersebut menyebabkan terjadinya ‘bottle neck’. Ditambah lagi tidak seluruh area di Kota Bogor terdapat SMP negeri yang biayanya terjangkau yang diutamakan untuk warga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. “Iya itu sangat besar kemungkinannya kalau angka putus sekolah di tingkat SMP, korelasi dengan jumlah SMP negeri tidak berimbang. Jadi penanganannya kalau yang masalah itu tentunya Disdik harus segera membuat roadmap ke depan, penambahan sekolah daya tampung sekolah penambahannya berapa per-tahun,” jelasnya. Oleh karena itu, lanjut dia, lebih baik Disdik Kota Bogor bekerja sama dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang bersifat koordinatif. Termasuk meminta wali kota dan wakil wali kota Bogor menunjuk sebuah tim. “Timnya kan nanti bisa di bawah asisten atau di bawah yang sifatnya koordinatif. Jadi, lintas dinasnya enak kalau sudah ada perintah dari wali kota dan wakil wali kota),” tuturnya. Penanganan angka putus sekolah ini merupakan arahan Wali Kota Bogor, Bima Arya, yang sempat disampaikan saat rapat bersama Dewan Pendidikan beberapa waktu lalu. Bima menekankan seluruh pihak, mulai dari Dewan Pendidikan, Disdik Kota Bogor dan pihak terkait untuk berfokus pada peningkatan angka lama sekolah. Termasuk fenomena putus sekolah, yang sebaiknya ditangani dengan tidak hanya mengandalkan data tertulis. “Fenomena putus sekolah merupakan masalah yang harus segera diselesaikan melalui kolaborasi seluruh pihak. Jemput bola, tidak hanya mengandalkan data tertulis,” kata Bima. Menurutnya, fenomena putus sekolah harus menjadi perhatian seluruh pihak. Sebab, hal tersebut terkait kualitas lembaga paling dasar. “Fenomena putus sekolah harus menjadi perhatian seluruh pihak, karena melibatkan banyak hal terkait kualitas lembaga paling dasar dari masyarakat, keluarga,” tuturnya. Terpisah, Sekretaris Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bogor, Dani Rahadian, memaparkan, sejak Oktober 2020 hingga saat ini Disdik Kota Bogor mencatat ada 514 kasus putus sekolah. Ia pun merinci angka putus sekolah paling tinggi berada pada tingkat SMP sederajat, yakni sebanyak 236. Sementara angka putus sekolah pada tingkat SD sederajat mencapai angka 178 kasus dan 100 kasus pada tingkat SMA sederajat. “Dari enam kecamatan se-Kota Bogor, angka putus sekolah paling tinggi terjadi di Kecamatan Bogor Selatan, yaitu di angka 170 kasus. Dengan 72 kasus di tingkat SD, 87 kasus di tingkat SMP, dan 11 kasus di tingkat SMA,” paparnya. Sementara itu, Kecamatan Tanahsareal menduduki peringkat kedua dengan total 107 kasus putus sekolah. Dilanjut Kecamatan Bogor Barat sebanyak 99 kasus, Kecamatan Bogor Tengah dengan 70 kasus dan Kecamatan Bogor Utara sebanyak 55 kasus. “Angka putus sekolah paling sedikit di Kecamatan Bogor Timur, sebanyak 13 kasus,” pungkasnya.(dil/c/yok/py)