Kodok Merah merupakan satu-satunya jenis amfibi yang masuk dalam daftar satwa dilindungi di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018. Spesies ini juga terdaftar sebagai "Critically Endangered" (Kritis) dalam Daftar Merah IUCN (International Union for Conservation of Nature).
"Keunikan warna merah mencolok pada kulitnya menjadikan Kodok Merah atau 'Bleeding Toad' sebagai salah satu amfibi paling menarik di dunia," tambah drh. Bongot.
Peran Ekologis yang Vital
Meskipun ukurannya kecil, Kodok Merah memainkan peran ekologis yang sangat penting:
- Pengendali Hama Alami - Memangsa serangga dan invertebrata kecil, membantu menjaga keseimbangan populasi hama.
- Mangsa dalam Rantai Makanan - Menjadi sumber makanan bagi predator seperti burung dan ular, memastikan keseimbangan dalam ekosistem.
- Indikator Kesehatan Lingkungan - Kulit amfibi yang sensitif terhadap perubahan lingkungan menjadikan Kodok Merah sebagai bioindikator kualitas habitat.
Rumah Baru yang Dirancang Sempurna
Keseriusan TSI dalam upaya penyelamatan Kodok Darah terlihat jelas dari fasilitas penangkaran yang dirancang dengan teliti. Di sebuah ruangan berukuran sekitar 3x4 meter di bagian depan lokasi penangkaran macan tutul jawa, tim menyiapkan tujuh akuarium khusus dengan fungsi berbeda, mulai dari tempat penyimpanan telur, berudu, kodok muda, hingga tempat kawin dan karantina.
"Setiap akuarium kami rancang semirip mungkin dengan habitat asli di alam lengkap dengan tanaman air dan bebatuan," jelas Arief.
Suhu air tak kalah penting dalam reproduksi kodok ini. Tim memastikan suhu tetap di bawah 20°C, idealnya antara 15-17°C, menyerupai kondisi di habitat alaminya di pegunungan yang sejuk. Perhatian detail seperti inilah yang menjadi kunci keberhasilan.
Menu makanan pun dirancang khusus menyerupai santapan alami kodok di habitat aslinya. "Kami menyajikan 'prasmanan mini' berupa isopoda, springtail, semut, laba-laba, dan berbagai invertebrata kecil lainnya," jelas Arief dengan antusias.
Kajian habitat menyeluruh yang dilakukan menjadi dasar kesuksesan ini, meliputi:
- Kondisi Biofisik - Pengukuran suhu, kelembaban, pH air, dan parameter lingkungan lainnya.
- Analisis Vegetasi - Pendataan dan pemahaman struktur tumbuhan yang mendukung habitat Kodok Darah.
- Monitoring Satwa - Pengamatan interaksi ekologis dengan spesies lain di ekosistem.
"Data-data ini memungkinkan kami mereplikasi kondisi habitat ideal bagi Kodok Darah sehingga mereka dapat berkembang biak dengan sukses," jelas Arief.
Populasi yang Tumbuh, Harapan yang Bersemi
Hasil kerja keras dan dedikasi tim konservasi TSI kini berbuah manis. Total populasi Kodok Darah di penangkaran saat ini tercatat mencapai 16 kodok dewasa, 7 kodok usia muda, dan seratusan anakan, angka yang memberi harapan bagi masa depan spesies ini.
Keberhasilan program pengembangbiakan Kodok Darah membuka jalan bagi upaya konservasi amfibi lainnya yang terancam punah. Metodologi dan pembelajaran dari proyek ini akan dibagikan kepada komunitas konservasi global.
"Kami berharap keberhasilan ini menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melindungi amfibi sebagai komponen vital ekosistem kita," tutup Drs. Jansen.