METROPOLITAN.ID — Taman Safari Bogor mencatatkan prestasi bersejarah dalam dunia konservasi dengan keberhasilan mengembangbiakkan Kodok Darah (Leptophryne cruentata) di luar habitat aslinya untuk pertama kali di dunia. Spesies amfibi endemik Jawa Barat yang terancam punah ini berhasil menetas dan menjalani metamorfosis lengkap di fasilitas konservasi Taman Safari Bogor.
"Ini merupakan momen bersejarah bagi upaya konservasi amfibi di Indonesia dan dunia," kata Drs. Jansen Manansang, M.Sc, Direktur Taman Safari Indonesia. "Keberhasilan ini membuka harapan baru bagi penyelamatan spesies langka yang berada di ambang kepunahan."Tambahnya.
Pengembangbiakan kodok darah di luar habitatnya sangat penting, mengingat spesies ini sudah sangat jarang ditemukan di alam liar. Ini dapat membantu meningkatkan populasi satwa liar di alam.
Penemuan yang Tak Terduga
Keberadaan populasi Kodok Darah di Taman Safari Bogor awalnya ditemukan secara tidak sengaja pada tahun 2022. Tim monitoring TSI, IPB dan PSSEJ (Pusat Suaka Satwa Elang Jawa) yang sedang melakukan kajian habitat untuk pelepasliaran Elang Jawa menemukan beberapa individu Kodok Darah di area tersebut. Penemuan ini mengejutkan mengingat spesies ini hanya diketahui hidup di dua kawasan Taman Nasional yaitu Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
"Temuan ini mendorong kami untuk segera membentuk tim khusus dalam inisiatif konservasi endemik di Taman Safari Indonesia," jelas drh. Bongot Huaso Mulia, M.Si, Vice President Life Science Taman Safari Indonesia. "Kami memulai program pemantauan dan perlindungan komprehensif untuk memastikan kelangsungan hidup populasi Kodok Darah di kawasan kami."
Si Kecil Berdarah yang Menakjubkan
Namanya Kodok Darah bukan tanpa alasan. Warna kulitnya yang dominan hitam dihiasi bercak-bercak merah menyala, seolah bercak darah, menjadi ciri khas yang membuatnya istimewa. Nama latin "cruentata" sendiri berasal dari bahasa Latin yang artinya "berdarah", sempurna menggambarkan penampilannya yang unik.
Meski berukuran kecil, kodok ini memiliki dimorfisme seksual (perbedaan penampilan fisik antara jantan dan betina) yang jelas. Betina berukuran lebih besar, mencapai 2,4-4,6 sentimeter, sementara jantan hanya 2-3 sentimeter. Menariknya, tonjolan merah di kulit kodok ini bukanlah sekadar hiasan. Tonjolan tersebut adalah kelenjar paratoid yang mengandung racun sebagai mekanisme pertahanan diri.
Drama Kehidupan yang Terungkap
Tim konservasi TSI dengan penuh kesabaran mendokumentasikan seluruh proses kehidupan Kodok Darah, dari perkawinan hingga metamorfosis lengkap. Rekaman video perkawinan menangkap momen langka di mana kodok jantan mengeluarkan suara unik yang menyerupai jangkrik namun lebih melengking, sebuah "serenata" alam yang jarang terdengar manusia.
Proses reproduksi yang terjadi menampilkan drama kehidupan yang menakjubkan. Kodok betina mengeluarkan puluhan hingga ratusan telur di dalam air, diselubungi lendir pelindung. Sementara itu, kodok jantan menyemprotkan sperma ke telur-telur tersebut yang kemudian akan terjadi fertilisasi (proses pembuahan) yang nantinya akan menjadi cikal bakal kehidupan baru. Dari satu sel menjadi dua sel anak yang identik, lalu empat sel, delapan sel, dan seterusnya, membentuk jaringan tubuh yang kompleks dan bertumbuh hingga mengalami proses metamorfosis. Proses ajaib kehidupan ini kini terdokumentasi sempurna oleh tim konservasi TSI.
Tahapan metamorfosis lengkap terekam dengan detail:
- Hari 0-4: Perkembangan telur
- Hari 6-18: Pembentukan mulut dan organ internal berudu
- Hari 60-76: Perkembangan kaki belakang diikuti kaki depan
- Hari 90-95: Transisi dari air ke darat dengan penyusutan ekor
- Hari 95-100: Kodok merah telah menyelesaikan proses metamorfosis dan sepenuhnya beradaptasi untuk kehidupan di darat.
"Pencapaian ini seperti menyaksikan mukjizat alam yang jarang terlihat manusia," ungkap Arief Mutargan, Asisten Kurator TSI Bogor. "Dari ratusan telur hingga menjadi kodok kecil yang melompat-lompat, setiap tahap adalah pelajaran berharga tentang keajaiban kehidupan."
Satu-satunya Amfibi Dilindungi di Indonesia