berita-utama

Program Angkot Masuk Kampung Dikecam Pakar Tata Kota

Kamis, 16 Maret 2017 | 09:07 WIB

MASUKNYA angkot ke kampung-kampung di Kota Bogor jadi perbincangan hangat. Ini menyusul telah diberlakukannya penambahan trayek baru pasca peresmian program rerouting, Selasa (14/3) lalu.

MESKI punya niat mulia untuk mengurai kemacetan, terobosan Walikota Bogor Bima Arya ini justru dikritik habis-habisan oleh Pakar Tata Kota.

Sesuai rencana, Pemerin­tah Kota (Pemkot) Bogor berniat mengurai penum­pukan angkot yang terjadi di dalam kota. Dua tahun jelang habisnya masa ja­batan walikota, pemerintah daerah buru-buru mengek­sekusi penggeseran angkot ke kampung-kampung den­gan menambah trayek baru. Termasuk, memperpanjang lintasan angkot agar lebih dekat dengan pemukiman warga.

Sebanyak 30 trayek telah diresmikan walikota untuk dilalui angkot sampai ke perkampungan warga. Di antaranya terdiri dari lima trayek baru, enam trayek yang dipecah lintasannya, tiga trayek diperpanjang dan sisanya trayek tetap. Angkot-angkot itu dijadikan sebagai feeder alias kend­araan pengumpan yang melintas di pinggiran kota Bogor.

Sedangkan, di pusat ko­tanya pemerintah menye­diakan tujuh koridor utama yang hanya dilalui angkutan massal berupa minibus. Di antaranya trayek jurusan Terminal Bubulak-Terminal Baranangsiang (TPK-1), Ter­minal Ciawi-Terminal Bubu­lak via Baranangsiang (TPK-2), Terminal Ciawi-Terminal Bubulak via Lawanggintung (TPK-3), Terminal Ciawi-Ciparigi (TPK-4), Ciparigi-Terminal Merdeka (TPK-5), Terminal Ciawi-Warung Jambu (TPK-6) dan Terminal Baranangsiang- Belanova (TPK-7).

Sayang, tujuh koridor uta­ma itu belum siap mem­fasilitasi kebutuhan warga terhadap pelayanan angku­tan massal. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan ke­caman dari Pakar Tata Kota Universitas Trisakti, Nirwono Yoga.

Menurut Nirwono, pro­gram ini terkesan diburu-buru mengingat masa ja­batan Walikota Bogor Bima Arya dan wakilnya Usmar Hariman yang akan berakhir pada 2018. Sehingga yang terjadi adanya tumpang tindih masalah. Di satu sisi ada niat baik pemerintah menekan kemacetan, na­mun di sisi lain ada hal yang tidak dipersiapkan pemerin­tah sejak awal. Salah satunya yakni bagaimana penataan transportasi di pusat kota.

“Wajar kalau program ini dipercepat. Karena pe­mimpin itu kan dibatasi lima tahun. Artinya mereka dituntut punya gebrakan untuk modal selanjutnya. Tapi, seharusnya pemer­intah fokus dulu di pusat kota baru melakukan atau unsur-unsur yang mendu­kung program ini dilakukan secara paralel,” terang Nir­wono.

Ia mempertanyakan bagaimana penyediaan angku­tan massal yang ada di Kota Bogor. Sementara, kondisi Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) milik pemerintah tidak se­hat alias bangkrut. Padahal, perusahaan itu yang akan menggerakan pengelolaan layanan angkutan massal di Kota Bogor.

“Artinya apa, mengurai kemacetan itu tidak bisa sekadar membuang angkot ke pinggiran. Sedangkan di dalam kota belum ada jami­nan pelayanan angkutan massal yang baik. Ini sama saja menambah masalah ba­ru dengan mendistribusikan kemacetan ke kampung-kampung,” tegas dia.

Nirwono menyarankan agar pemerintah berani mengambil sikap dan ge­brakan baru untuk mendo­rong program rerouting­nya berjalan mulus.

“Misalnya membatasi kendaraan pribadi masuk ke kota dengan penerapan e-parking progresif. Sema­kin ke pusat semakin mahal. Dan peniadaan bertahap parkir di jalanan,” ungkap dia.

Tak hanya itu, menu­rut Nirwono, komitmen pemerintah mengurangi kemacetan tidak sekadar ditunjukan lewat acara ser­emonial berupa peresmian program rerouting. Melain­kan, bagaimana pimpinan daerah bisa memberikan contoh nyata untuk men­dorong warga beralih dari kendaraan pribadi ke ang­kutan massal.

“Mungkin sepele, tapi ini cara paling nyata. Sekarang pemerintah buat pedestrian, buat jalur sepeda tapi pe­jabatnya sendiri tidak per­nah memberi contoh pada warganya. Sehingga, itu semua hanya jadi pajangan tanpa memiliki dampak bagi kota itu sendiri,” terangnya.

Halaman:

Tags

Terkini