MASUKNYA angkot ke kampung-kampung di Kota Bogor jadi perbincangan hangat. Ini menyusul telah diberlakukannya penambahan trayek baru pasca peresmian program rerouting, Selasa (14/3) lalu.
MESKI punya niat mulia untuk mengurai kemacetan, terobosan Walikota Bogor Bima Arya ini justru dikritik habis-habisan oleh Pakar Tata Kota.
Sesuai rencana, Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor berniat mengurai penumpukan angkot yang terjadi di dalam kota. Dua tahun jelang habisnya masa jabatan walikota, pemerintah daerah buru-buru mengeksekusi penggeseran angkot ke kampung-kampung dengan menambah trayek baru. Termasuk, memperpanjang lintasan angkot agar lebih dekat dengan pemukiman warga.
Sebanyak 30 trayek telah diresmikan walikota untuk dilalui angkot sampai ke perkampungan warga. Di antaranya terdiri dari lima trayek baru, enam trayek yang dipecah lintasannya, tiga trayek diperpanjang dan sisanya trayek tetap. Angkot-angkot itu dijadikan sebagai feeder alias kendaraan pengumpan yang melintas di pinggiran kota Bogor.
Sedangkan, di pusat kotanya pemerintah menyediakan tujuh koridor utama yang hanya dilalui angkutan massal berupa minibus. Di antaranya trayek jurusan Terminal Bubulak-Terminal Baranangsiang (TPK-1), Terminal Ciawi-Terminal Bubulak via Baranangsiang (TPK-2), Terminal Ciawi-Terminal Bubulak via Lawanggintung (TPK-3), Terminal Ciawi-Ciparigi (TPK-4), Ciparigi-Terminal Merdeka (TPK-5), Terminal Ciawi-Warung Jambu (TPK-6) dan Terminal Baranangsiang- Belanova (TPK-7).
Sayang, tujuh koridor utama itu belum siap memfasilitasi kebutuhan warga terhadap pelayanan angkutan massal. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan kecaman dari Pakar Tata Kota Universitas Trisakti, Nirwono Yoga.
Menurut Nirwono, program ini terkesan diburu-buru mengingat masa jabatan Walikota Bogor Bima Arya dan wakilnya Usmar Hariman yang akan berakhir pada 2018. Sehingga yang terjadi adanya tumpang tindih masalah. Di satu sisi ada niat baik pemerintah menekan kemacetan, namun di sisi lain ada hal yang tidak dipersiapkan pemerintah sejak awal. Salah satunya yakni bagaimana penataan transportasi di pusat kota.
“Wajar kalau program ini dipercepat. Karena pemimpin itu kan dibatasi lima tahun. Artinya mereka dituntut punya gebrakan untuk modal selanjutnya. Tapi, seharusnya pemerintah fokus dulu di pusat kota baru melakukan atau unsur-unsur yang mendukung program ini dilakukan secara paralel,” terang Nirwono.
Ia mempertanyakan bagaimana penyediaan angkutan massal yang ada di Kota Bogor. Sementara, kondisi Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) milik pemerintah tidak sehat alias bangkrut. Padahal, perusahaan itu yang akan menggerakan pengelolaan layanan angkutan massal di Kota Bogor.
“Artinya apa, mengurai kemacetan itu tidak bisa sekadar membuang angkot ke pinggiran. Sedangkan di dalam kota belum ada jaminan pelayanan angkutan massal yang baik. Ini sama saja menambah masalah baru dengan mendistribusikan kemacetan ke kampung-kampung,” tegas dia.
Nirwono menyarankan agar pemerintah berani mengambil sikap dan gebrakan baru untuk mendorong program reroutingnya berjalan mulus.
“Misalnya membatasi kendaraan pribadi masuk ke kota dengan penerapan e-parking progresif. Semakin ke pusat semakin mahal. Dan peniadaan bertahap parkir di jalanan,” ungkap dia.
Tak hanya itu, menurut Nirwono, komitmen pemerintah mengurangi kemacetan tidak sekadar ditunjukan lewat acara seremonial berupa peresmian program rerouting. Melainkan, bagaimana pimpinan daerah bisa memberikan contoh nyata untuk mendorong warga beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan massal.
“Mungkin sepele, tapi ini cara paling nyata. Sekarang pemerintah buat pedestrian, buat jalur sepeda tapi pejabatnya sendiri tidak pernah memberi contoh pada warganya. Sehingga, itu semua hanya jadi pajangan tanpa memiliki dampak bagi kota itu sendiri,” terangnya.