OLEH : ADE YASIN, SH, MH (Calon Bupati Bogor 2018)
KASUS pernikahan yang belum dicatatkan seperti ini jumlahnya tidak sedikit. Berdasarkan hasil penelitian sebuah konsorsium yang terdiri dari peneliti-peneliti sosial di Kemitraan Australia-Indonesia untuk Keadilan, Puskapa UI, PEKKA, dan Lembaga Penelitian Semeru bekerja sama dengan Bappenas, Mahkamah Agung, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama yang diterbitkan pada 2014 diketahui bahwa ada sekitar 2 juta pasangan yang berada dalam perkawinan tanpa memiliki akta nikah atau buku nikah. Mayoritas mereka dari keluarga miskin.
Hal lain lagi yang harus dipertimbangkan adalah adanya potensi kriminalisasi terhadap korban perkosaan atau pencabulan. Dalam hal, misalnya, pengakuan pelaku yang menyatakan bahwa tindakan tersebut dilakukan suka sama suka, yang pelakunya masih usia sekolah. Apakah kita akan mengantar mereka semua ke penjara? Padahal mereka masih butuh untuk melanjutkan sekolahnya. Siapkah kita menghadapi hal-hal seperti ini? Seberapa banyak bangunan penjara yang harus disiapkan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuktikan bahwa persoalan ini tidak sepele. Ini adalah persoalan rumit yang harus diselesaikan oleh pembentuk UU. Sebab perlu dilakukan penyelarasan atas berbagai peraturan yang terkait dengan hal tersebut. Itu tentunya akan sangat sulit jika dilakukan oleh lembaga peradilan seperti MK. Mengapa? Sebab, lembaga peradilan bersifat pasif. Ia tidak dibenarkan mencari-cari perkara, atau menyuruh-nyuruh orang untuk berperkara.
Oleh karenanya, sudah seharusnya kita menyudahi menyalahkan putusan MK. Tidak ada yang salah dengan putusan itu. Bahkan sebagaimana press release yang disampaikan oleh MK beberapa waktu yang lalu, seluruh Hakim Konstitusi mempunyai concern yang sama terhadap fenomena yang dipaparkan pemohon. Hanya saja lima orang Hakim Konstitusi berpendapat bahwa substansi permohonan dimaksud sudah menyangkut perumusan delik atau tindak pidana baru yang mengubah secara mendasar baik subjek yang dapat dipidana, perbuatan yang dapat dipidana, sifat melawan hukum perbuatan tersebut, maupun sanksi/ancaman pidananya. Sehingga hal itu sesungguhnya telah memasuki wilayah ”criminal policy” yang kewenangannya ada pada pembentuk UU (DPR dan Presiden).
Lebih lanjut dikatakan bahwa MK juga concern terhadap fenomena sosial yang dikemukakan oleh pemohon dalam putusan itu. MK juga sudah menegaskan agar langkah perbaikan perlu dibawa ke pembentuk UU untuk melengkapi pasal-pasal yang mengatur tentang delik kesusilaan tersebut. Dan, yang tidak kalah penting dari itu semua, tidak ada satu kata pun dalam amar putusan dan pertimbangan MK yang menyebut istilah LGBT, apalagi dikatakan melegalkannya. MK lagi-lagi hanya menyatakan sebaiknya persoalan tersebut dibawa ke pembentuk UU. Bukan melalui ketok palu hakim.
LGBT DAN AGAMA
Nabi Luth (Islam) atau Lot (Kristen) adalah Nabi dan Rasul ke-7 setelah Nabi Ibrahim AS. Di kalangan masyarakat Muslim, ia termasuk di antara 25 Nabi dan Rasul yang wajib diimani. Mengimani kehadirannya dalam menata tata nilai kehidupan manusia di bumi, termasuk dalam rukun Iman. Secara eskatologis, mereka yang percaya atasnya, pasti mendapat pahala.
Dalam beberapa catatan sejarah, Luth adalah adik misan Nabi Ibrahim. Nabi yang keenam, jika menggunakan urutan Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih dan Ibrahim. Ia juga dikenal sebagai peletak agama tauhid (monotheisme) yang mengajarkan bahwa Tuhan itu Esa dengan karakter Metafisik. Tuhan tidak simbolik dan tidak mungkin disimbolisasi.
Dalam periwayatan dimaksud, Luth adalah anak Ajar. Seorang ahli seni pahat yang dikenal ahli dalam memahat patung (Dewa). Ibrahim sendiri dibesarkan dalam kultur keluarga besar Ajar, bapak Luth sekaligus Paman Ibrahim. Kakak beradik (misan) inilah, keduanya kemudian menjadi Nabi dan Rasul. Keduanya, memiliki tugas menyampaikan pesan moral keagamaan kepada masyarakat yang berbeda. Ibrahim dikenal berdakwah di Mekkah dan Palestina. Warisannya adalah Kakbah (Mekkah) dan Masjid al Aqsa (Palestina).
Berbeda dengan Ibrahim, Luth, dikisahkan menyebarkan agama Tuhan di daerah Sodom. Masyarakat yang dikenal rendah moral dan cenderung rusak akhlaknya. Di sinilah agama tidak kenal dan belum ada yang memperkenalkannya. Mereka tidak memiliki pegangan hidup (tentu sebelum Luth), sehingga kehidupannya menjadi kacau. Sebelum kedatangan Luth, masyarakat ini dianggap tidak memiliki pegangan agama, sehingga tidak mampu membentuk sistem kemanusiaan yang baik.
Dampaknya, pencurian, perampokan dan perampasan harta benda, menjadi kegiatan rutin. Hukum menjadi rimba. Yang kuat dialah yang berkuasa. Akibatnya, yang lemah selalu menjadi korban penindasan dan perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan mereka yang kuat. Lebih parah dari itu, mereka memiliki dalam penyimpangan seksual.
Penyimpangan dimaksud, terlihat misalnya dari kebanyakan kaum laki-laki yang justru tertarik pada sesama jenis, yakni laki-laki juga. Tidak berbeda dengan kaum laki-laki, kaum perempuan juga sama. Mereka lebih memilih kaum perempuan, dibandingkan dengan kaum laki-laki. Periwayatan soal ini, setidaknya dapat dibaca dalam firman Allah, Surat Asy Syura (165-166) yang artinya sebagai berikut:
Mengapa kamu mendatangi (berzina) dengan jenis lelaki di antara manusia. Sementara itu, isteri-isteri yang berikan Tuhan untukmu, kau tinggalkan. Kamu bahkan termasuk orang-orang yang melampaui batas.