berita-utama

Bangkit karena Anak, Jadi Wakil Indonesia di Inggris

Senin, 29 Juli 2019 | 09:22 WIB
SEMANGAT: Isye Susilawati tampak semangat meski tengah mengidap HIV.

METROPOLITAN -  Hancur. Mungkin itu kata yang pas untuk menggambarkan hati Isye Susilawati. Isye tak menyangka dirinya positif mengidap HIV. Ia tertular dari suaminya, pengguna narkoba dengan jarum suntik.

Isye pun hanya bisa menghela napas. Piki­rannya menerawang ke masa lalu, saat-saat terberat dalam hidupnya, akhir 2005 silam. Tahun itu, Isye divonis HIV positif. Mendapat vonis itu, Isye terpukul. Ia minder, tidak percaya diri, jatuh terjerembab dan merasa hampa.

Apalagi selama ini ia me­rasa tidak pernah berbuat aneh, nakal, atau melakukan hal-hal berisiko tinggi yang bisa mem­buatnya terkena HIV-AIDS. “Berat banget untuk mengakui dan menerima saya HIV po­sitif. Butuh waktu dua tahun untuk saya bisa menerima ini,” kata Isye.­

Puncaknya, saat ia menga­lami diare akut dan kandidia­sis oral selama tiga pekan. Berat badannya turun 23 ki­logram dari 50 kilogram men­jadi 27 kilogram. Badannya yang kurus kering membuat­nya enggan melihat kaca. Ka­lau melihat kaca, bawaannya ingin membanting kaca ter­sebut.

Saat-saat terberat ini dila­luinya bersama keluarga, teru­tama anaknya yang saat itu masih berusia lima tahun. Anak terbesarnya inilah yang me­rawat Isye. Saat ia merintih kesakitan karena penyakitnya, sang anak yang memberinya obat.

Semakin besar, anaknya pula yang mengingatkan Isye untuk meminum ARV dan cek rutin ke dokter. “Dia yang tahu saya saat ngedrop. Dia yang selalu memberikan obat. Dia yang menjadi motivasi saya untuk bertahan sampai seka­rang. Dia pernah berkata, Bunda harus bisa melihat ka­kak sampai dewasa, kuliah,” ucap Isye dengan mata berka­ca-kaca.

Berkat anaknya, ia bisa me­nerima penyakitnya dengan ikhlas tanpa merasa benci pada suaminya. Sebab pada awal divonis HIV, kerap ada kalimat, “Gara-gara kamu (suaminya, red), saya jadi se­perti ini!”. Namun, semakin lama ia melihat rasa dendam terhadap suami tidak akan menyelesaikan masalah. Rasa minder yang menderanya pun tidak akan mengubah status HIV positifnya. Ia pun mulai membuka statusnya kepada orang lain. Ada yang mendu­kung, ada pula yang malah memberikan stigma.

“Orang tahu saya tertular dari suami. Tapi suka ada orang yang ber­kata, kamu dulunya nakal sih dan lain-lain,” tuturnya.

Meski stigma kerap men­ghampiri perjalanan hidupnya, ia bertekad menjalankan hidup­nya dengan bekerja dan men­gurus keluarga. Beberapa tahun kemudian ia menikah lagi dengan sesama pengidap HIV dan dikaruniai satu orang anak. Suami keduanya meninggal pada 2018. “Sekarang saya single parent. Tidak mudah, tapi saya dan anak-anak men­jalankannya dengan baik,” ucapnya.

Saat ini, anak pertamanya sudah menginjak semester tiga salah satu perguruan tinggi di Bandung dan anak keduanya baru masuk SD. “Mereka negatif (HIV, red),” tuturnya.

Selain mengurus anak, Isye kini aktif di Rumah Cemara dan bekerja di Female Plus sebagai pendukung sebaya. Dari pekerjaannya di LSM inilah ia bisa menghidupi kelu­arganya.

Ia pun tetap aktif berolah­raga. Bahkan ia terpilih men­jadi satu-satunya wanita dalam Tim Nasional Homeless World Cup ( HWC) 2019. Isye ber­sama timnya akan mewakili Indonesia untuk berlaga di Cardiff City, Inggris, pada 27 Juli-3 Agustus 2019.

Perjuangan Isye untuk gabung di Timnas HWC 2019 tidak diperoleh dengan mudah. Ia memulainya di 2013, saat men­juarai pertandingan sepak bola tingkat Jawa Barat (Jabar). Tadinya, Isye akan diberang­katkan dengan tim HWC lain­nya pada 2014, namun batal.

Tak mau menyerah, ia ke­mudian ikut seleksi di 2019 dan menjadi peserta perem­puan satu-satunya. Selama seleksi dan latihan, ia menga­ku tidak pernah canggung walau semua anggota tim lainnya laki-laki. Ia tetap latihan se­rius mengocek bola dan ber­peran maksimal sebagai pemain depan.

Halaman:

Tags

Terkini