METROPOLITAN - Hancur. Mungkin itu kata yang pas untuk menggambarkan hati Isye Susilawati. Isye tak menyangka dirinya positif mengidap HIV. Ia tertular dari suaminya, pengguna narkoba dengan jarum suntik.
Isye pun hanya bisa menghela napas. Pikirannya menerawang ke masa lalu, saat-saat terberat dalam hidupnya, akhir 2005 silam. Tahun itu, Isye divonis HIV positif. Mendapat vonis itu, Isye terpukul. Ia minder, tidak percaya diri, jatuh terjerembab dan merasa hampa.
Apalagi selama ini ia merasa tidak pernah berbuat aneh, nakal, atau melakukan hal-hal berisiko tinggi yang bisa membuatnya terkena HIV-AIDS. “Berat banget untuk mengakui dan menerima saya HIV positif. Butuh waktu dua tahun untuk saya bisa menerima ini,” kata Isye.
Puncaknya, saat ia mengalami diare akut dan kandidiasis oral selama tiga pekan. Berat badannya turun 23 kilogram dari 50 kilogram menjadi 27 kilogram. Badannya yang kurus kering membuatnya enggan melihat kaca. Kalau melihat kaca, bawaannya ingin membanting kaca tersebut.
Saat-saat terberat ini dilaluinya bersama keluarga, terutama anaknya yang saat itu masih berusia lima tahun. Anak terbesarnya inilah yang merawat Isye. Saat ia merintih kesakitan karena penyakitnya, sang anak yang memberinya obat.
Semakin besar, anaknya pula yang mengingatkan Isye untuk meminum ARV dan cek rutin ke dokter. “Dia yang tahu saya saat ngedrop. Dia yang selalu memberikan obat. Dia yang menjadi motivasi saya untuk bertahan sampai sekarang. Dia pernah berkata, Bunda harus bisa melihat kakak sampai dewasa, kuliah,” ucap Isye dengan mata berkaca-kaca.
Berkat anaknya, ia bisa menerima penyakitnya dengan ikhlas tanpa merasa benci pada suaminya. Sebab pada awal divonis HIV, kerap ada kalimat, “Gara-gara kamu (suaminya, red), saya jadi seperti ini!”. Namun, semakin lama ia melihat rasa dendam terhadap suami tidak akan menyelesaikan masalah. Rasa minder yang menderanya pun tidak akan mengubah status HIV positifnya. Ia pun mulai membuka statusnya kepada orang lain. Ada yang mendukung, ada pula yang malah memberikan stigma.
“Orang tahu saya tertular dari suami. Tapi suka ada orang yang berkata, kamu dulunya nakal sih dan lain-lain,” tuturnya.
Meski stigma kerap menghampiri perjalanan hidupnya, ia bertekad menjalankan hidupnya dengan bekerja dan mengurus keluarga. Beberapa tahun kemudian ia menikah lagi dengan sesama pengidap HIV dan dikaruniai satu orang anak. Suami keduanya meninggal pada 2018. “Sekarang saya single parent. Tidak mudah, tapi saya dan anak-anak menjalankannya dengan baik,” ucapnya.
Saat ini, anak pertamanya sudah menginjak semester tiga salah satu perguruan tinggi di Bandung dan anak keduanya baru masuk SD. “Mereka negatif (HIV, red),” tuturnya.
Selain mengurus anak, Isye kini aktif di Rumah Cemara dan bekerja di Female Plus sebagai pendukung sebaya. Dari pekerjaannya di LSM inilah ia bisa menghidupi keluarganya.
Ia pun tetap aktif berolahraga. Bahkan ia terpilih menjadi satu-satunya wanita dalam Tim Nasional Homeless World Cup ( HWC) 2019. Isye bersama timnya akan mewakili Indonesia untuk berlaga di Cardiff City, Inggris, pada 27 Juli-3 Agustus 2019.
Perjuangan Isye untuk gabung di Timnas HWC 2019 tidak diperoleh dengan mudah. Ia memulainya di 2013, saat menjuarai pertandingan sepak bola tingkat Jawa Barat (Jabar). Tadinya, Isye akan diberangkatkan dengan tim HWC lainnya pada 2014, namun batal.
Tak mau menyerah, ia kemudian ikut seleksi di 2019 dan menjadi peserta perempuan satu-satunya. Selama seleksi dan latihan, ia mengaku tidak pernah canggung walau semua anggota tim lainnya laki-laki. Ia tetap latihan serius mengocek bola dan berperan maksimal sebagai pemain depan.