berita-utama

81.622 BPJS Warga Bogor Dicoret

Jumat, 2 Agustus 2019 | 10:31 WIB
DICORET: Pasien saat menunggu pelayanan kesehatan di salah satu rumah sakit di Kota Bogor. Ribuan PBI BPJS di Bogor mesti rela tidak lagi mendapat fasilitas tersebut.

METROPOLITAN - Pasca pemerintah pusat secara resmi menonaktifkan jumlah peserta Penerima Ban­tuan Iuran (PBI) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, ternyata berdampak pada peserta PBI Kota dan Kabupaten Bogor.

Berdasarkan data yang berhasil dihimpun Metropo­litan dari Dinas Kesehatan (Dinkes), setidaknya ada 20.108 PBI Kota Bogor yang harus gigit jari. Sebab terhitung sejak Kamis (1/8), puluhan ribu peserta PBI sudah tidak bisa lagi menikmati ban­tuan kesehatan dari pemerintah.

Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan pada Dinkes Kota Bogor Yuniarto Budi Santosa membenarkan bahwa ada 20.108 warga Kota Bogor peserta PBI BPJS yang dipastikan menjadi korban kebijakan Kementerian Sosial. Hal itu lantaran adanya sejum­lah data dan ketentuan yang dinilai tidak valid berdasarkan hasil dari verifikasi tim. “Kota Bogor ada 20.108 PBI BPJS yang tidak masuk Basis Data Ter­padu (BDT),” katanya. ­

Pria yang akrab disapa Busan itu mengungkapkan, dari 1.029.184 jumlah penduduk Kota Bogor, ada sekitar 986.017 jiwa yang sudah terdaftar BPJS yang terbagi dalam lima jenis kategori (lihat grafis).

-
Data ter­akhir per Juli 2019, PBI BPJS Kota Bogor mencapai 181.105 peserta. Sedangkan 20.108 di antaranya bermasalah. “Ada 20.108 yang dicoret. Lalu kita juga memasukkan 853 PBI baru yang sudah terverifikasi. Jadi saat ini peserta PBI Kota Bogor sekitar 161.850,” bebernya.

Busan menilai tidak sinkronnya data PBI BPJS pada BDT meru­pakan buah masa peralihan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) ke BPJS. Lemahnya pendataan dan validasi peserta digadang-gadang menjadi sum­ber permasalahan. “Ini semua berawal dari proses peralihan dari Jamkesmas ke BPJS. Jadi dulu itu anggota Jamkesmas langsung dimasukkan ke pe­serta BPJS tanpa melalui pen­dataan yang valid,” cetusnya.

Pihaknya juga mengakui tidak menutup kemungkinan data yang ada pada Dinas Sosial (Dinsos), selaku pemegang kebijakan pendataan peserta PBI, dengan Dinas Kependu­dukan dan Catatan Sipil (Dis­dukcapil) terjadi selisih angka. “Selisih data mungkin terjadi antara Dinsos dengan Disduk­capil. Karena dinas itu yang melakukan pendataan dan validasi. Intinya kita akan va­lidasi kembali data tersebut bersama Dinsos dan Disduk­capil. Kita akan klasifikasikan semuanya,” ujarnya.

Hal berbeda justru dilontarkan Kepala Seksi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan pada Disdukcapil Kota Bogor Mugi Lastono. Menurutnya, dari data yang diberikan Din­sos kepadanya, dari 181.105 PBI sekitar 40.000 bermasalah dan mesti dilakukan verifikasi lanjutan dan mendalam. “Da­ri data yang kami terima dari Dinsos, ada sekitar 40.000 PBI yang tidak terdaftar pada sistem kami. Sehingga membutuhkan verifikasi lanjutan dan analisis data,” ucapnya.

Secara umum, perbedaan data biasanya terjadi pada Kartu Keluarga dan Nomor Induk Kependudukan. Kendati Dis­dukcapil memiliki basis seluruh masyarakat, namun hak pen­dataan ada pada Dinsos Kota Bogor. “Kami hanya bertugas mencocokkan datanya. Dinsos yang memiliki hak validasi ter­hadap penduduk yang memang dinilai masuk kategorinya, ka­rena mereka yang melakukan pendataan,” tegasnya.

Mugi juga merasa heran dari mana Dinsos mengantongi data ter­sebut. Sebab, menurutnya, hal itu menjadi persoalaan. “Me­mang secara umum kami yang memegang data keseluruhan masyarakat, tapi kan data itu sifatnya umum tidak khusus. Jumlah data penduduk ada di kami, tapi kami tidak tahu ada berapa jumlah penduduk yang masuk kategori pantas mene­rima bantuan. Kira-kira se­perti itu gambarannya,” gam­blangnya.

Terpisah, Kepala BPJS Kota Bogor Yerri Gerson Rumawak enggan berkomentar banyak saat Metropolitan mencoba menggali informasi dan kete­rangan mengenai kasus terse­but. “Saya lagi ada kegiatan di luar kantor. Soal info yang di­tanyakan, kami masih menung­gu arahan dari kantor pusat. Mungkin lebih tepat yang bisa klarifikasi Dinsos sebagai pe­milik data. Karena kami sifatnya given,” singkatnya.

Sementara di Kabupaten Bogor sendiri, dari 1.237.091 orang yang menerima bantuan PBI dari dana APBN ada sekitar 61.514 orang yang terdampak dari keluarnya SK Mensos. Dari data tersebut, orang-orang yang dihapus haknya untuk menerima bantuan adalah orang-orang yang di luar BDT, yang merupakan khusus orang-orang fakir miskin. “Yang di­nonaktifkan ada 61.514 dari 1.237.091 dan mereka ini ada di luar BDT, dan kita baru me­nerima hari ini (kemarin, red),” kata Kepala Seksi Penanganan Fakir Miskin Dinsos Kabupaten Bogor Djodi Anggoronadi.

Djodi melanjutkan, langkah Dinsos selanjutnya adalah akan menyortir data yang ada ke 40 kecamatan. Lalu nantinya akan disampaikan ke tingkat keca­matan untuk menginfokan kepada warganya. “Nanti juga kita akan memverifikasi ke Disdukcapil karena ini kan yang dihapuskan itu karena ada data yang tidak lengkap ya, seperti ada Nomor Induk Ke­pendudukan dan nomor Kar­tu Keluarga,” terangnya.

Ia menambahkan, nantinya jika sudah diverifikasi dan terindikasi ada orang yang ter­nyata miskin, maka Dinsos akan memberikan waktu untuk me­lengkapi datanya. “Kalau ter­nyata memang menurut pihak kecamatan si orang tersebut miskin, maka nanti akan kita usulkan untuk dimasukkan ke PBI APBD,” jelasnya.

Begitu juga dengan Sekretaris Dinas Kesehatan (Dinkes) Ka­bupaten Bogor Erwin Suriana yang mengaku pasrah atas kebijakan tersebut. Namun, Dinkes kabupaten akan tetap memperjuangkan pelayanan kesehatan kepada seluruh la­pisan masyarakat tanpa pan­dang kelas. “Kalau bagi kami, Dinkes itu adalah sebuah ke­wajiban untuk memberikan pelayanan yang terbaik untuk siapa pun itu, tanpa terkecua­li. Prinsipnya sih dari kami menunggu kebijakan dari pu­sat seperti apa. Tapi nanti harus kita kaji di bawah. Jadi Dinkes sendiri menyikapi itu siap mela­kukan kajian bersama instan­si terkait lainnya,” tuturnya.

Halaman:

Tags

Terkini