Memiliki rumah layak huni menjadi impian keluarga pasangan Saefudin (55) dan Yoyon (45), warga Kampung Cipayung, RT 08/03, Desa Rabak, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Namun, mereka harus tinggal di rumah panggung dengan luas bangunan 50 meter yang reyot dan rawan roboh. Bahkan, satu kamar ditempati 14 orang, 12 di antaranya merupakan anak-anak mereka.
PANTAUAN Metropolitan, langit-langit rumah mereka sudah bolong. Saat hujan, seisi rumah jadi basah oleh tetesan air hujan. Sedangkan dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu sudah keropos dimakan usia. Tak ayal, setiap hari Saefudin dan keluarganya dihantui perasaan takut.
Saefudin menceritakan, ia memiliki selusin anak atau 12, yakni Une (23), Apid (22), Santi (20), Ika (19), Ina (18), Didi (17), Umar (16), Yaya (12), Ariyo (7), Futri Rahasari (6), Windi (4) dan Kelara (6 bulan).
Seminggu lalu ketika hujan dan angin lebat, kata Saefudin, semua genteng rumah berjatuhan dan merusak satu kamar yang biasa diisi anak-anaknya. Ia pun khawatir roboh dan menimpa anak-anak, sehingga terpaksa dikosongkan.
Hanya satu kamar yang masih aman digunakan, itu pun dengan tempat tidur beralaskan bambu. “Semuanya tidur di satu kamar. Karena kamarnya sempit, Afid, anak nomor dua, lebih memilih tidur di pos ronda,” bebernya.
Rumah yang ditempati 12 anaknya itu diakuinya merupakan warisan orang tua. Meski sudah berupaya menahan bagian belakang rumah dengan menyangganya menggunakan bambu, saat ini rumah yang ditempati sudah miring dan rawan roboh. “Ingin memperbaiki rumah tapi uang dari mana, untuk makan sehari-hari saja masih sulit,” ujar Saefudin kepada Metropolitan.
Untuk menghidupi keluarganya, Saefudin hanya mengandalkan jualan sayur pakis ke Pasar Parung. Pakis itu diperolehnya dari Gunung Suling yang tak jauh dari rumahnya. Sekitar pukul 10:00 WIB sesudah pulang berjualan di Pasar Parung, ia berangkat ke gunung mencari pakis untuk esok hari dijual.
Tak hanya berjualan pakis, terkadang tetangga menitipkan barang dagangan untuk dijual di pasar seperti nangka, pepaya dan pisang. “Jualan pakis hanya dapat Rp25 ribu. Kalau pakisnya tidak laku, untuk makan ke-12 anaknya terpaksa ngutang di warung tetangga,” keluhnya.
Meski kondisinya pas-pasan, namun tak menghentikan semangat Saefudin menyekolahkan anak-anaknya. Empat anaknya, Une, Apid, Santi dan Ika, terpaksa hanya sampai SD. Sedangkan keempat adiknya tetap bersekolah, yakni Ina kelas 1 SMP, Didi kelas VI, Umar kelas IV dan Yaya kelas III. “Walaupun sehari -hari makan dengan garam dan ikan asin, yang penting semuanya sehat,” pungkasnya.
(ads/c/er/run