Senin, 22 Desember 2025

Ketua Ysk Kecam Perilaku Sentimen Agama

- Kamis, 30 Maret 2017 | 08:42 WIB

METROPOLITAN - Adanya tiga gereja yang aktivitas keagamaannya distop di Kecamatan Pa­rungpanjang mendapat reaksi keras dari Yayasan Satu Keadilan (YSK).

Belum lagi ditambah aksi penolakan Gereja Santa Clara di Bekasi (24/3) dan disegelnya Je­maat Ahmadiyah Indonesia  (JAI) Depok pada 23 Maret lalu. Kasus tersebut makin menambah daftar panjang kasus intoleransi di wilayah Jawa Barat serta mengecam perilaku sentimen agama. (JAI) Depok pada 23 Maret

Ketua YSK Sugeng Teguh Santoso menuntut negara aktif memberi perlindun­gan dan jaminan kepastian melaksanakan hak dalam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). “Agar kekerasan atas nama SARA yang merusak persatuan kita sebagai sebuah negara bangsa yang dibangun di atas pondasi keberagaman tidak terus berulang, pen­egak hukum harus serius menindak para pelaku intol­eran!” pinta Sugeng.

Menurutnya, negara tidak boleh tunduk pada kehendak-kehendak kelompok intoleran. Apalagi jika menyangkut KBB. “Pelanggaran hak atas KBB yang dijamin UUD Tahun 1945 dan oleh aturan-aturan hukum internasional sebagai hak yang tidak dapat dikuran­gi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights, red), sejatinya tidak didasarkan pada alasan legal atau ilegal­nya pendirian rumah ibadah,” terangnya.

Selama ini, lanjut dia, be­berapa rumah ibadah yang telah memenuhi syarat ad­ministratif masih mengalami penolakan. Padahal sebagai negara hukum (rechtstaat, red), terdapat mekanisme hukum untuk menyatakan ‘ketidaksetujuan’ sebagai ja­lan beradab. “Keberulangan konflik atas nama agama, salah satunya disebabkan karena negara masih tunduk pada kehendak-kehendak kelompok intoleran,” urainya.

Ia menganggap pemerintah tingkat pusat, terutama di daerah, sering menjadi aktor pelarangan dengan alasan keamanan dan ketertiban umum. Padahal, disadari tin­dakan demikian memecah belah persatuan bangsa yang saling menghargai dan meng­hormati perbedaan, melang­gar hukum dan hak asasi ma­nusia. “Kepala-kepala daerah yang berdiri tegak menjamin pelaksanaan hak asasi warga negara untuk beribadah seb­agai tanggung jawab konstitu­sional tentu patut diapresiasi,” ujar Sugeng.

Atas dasar itu, YSK men­ganggap bahwa menguatnya sikap intoleran masyarakat dan terbitnya kebijakan yang diskriminatif oleh pemerin­tah juga disebabkan fokus advokasi masih lebih banyak diarahkan pada kelompok masyarakat kelas menengah di perkotaan.

Sedangkan masyarakat ke­las menengah ke bawah di wilayah menengah perkotaan seperti Bogor, Bekasi, De­pok dan Tangerang, kurang mendapat perhatian serius. “Kekosongan advokasi pada kelas dan wilayah menengah ke bawah ini justru cender­ung dimanfaatkan kelompok-kelompok intoleran untuk menyebarkan kebencian dan permusuhan sesama warga yang berbeda suku, agama, kelompok keyakinan dan ke­percayaan,” tandasnya.

 (*/ feb/run

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X