METROPOLITAN - Adanya tiga gereja yang aktivitas keagamaannya distop di Kecamatan Parungpanjang mendapat reaksi keras dari Yayasan Satu Keadilan (YSK).
Belum lagi ditambah aksi penolakan Gereja Santa Clara di Bekasi (24/3) dan disegelnya Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Depok pada 23 Maret lalu. Kasus tersebut makin menambah daftar panjang kasus intoleransi di wilayah Jawa Barat serta mengecam perilaku sentimen agama. (JAI) Depok pada 23 Maret
Ketua YSK Sugeng Teguh Santoso menuntut negara aktif memberi perlindungan dan jaminan kepastian melaksanakan hak dalam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). “Agar kekerasan atas nama SARA yang merusak persatuan kita sebagai sebuah negara bangsa yang dibangun di atas pondasi keberagaman tidak terus berulang, penegak hukum harus serius menindak para pelaku intoleran!” pinta Sugeng.
Menurutnya, negara tidak boleh tunduk pada kehendak-kehendak kelompok intoleran. Apalagi jika menyangkut KBB. “Pelanggaran hak atas KBB yang dijamin UUD Tahun 1945 dan oleh aturan-aturan hukum internasional sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights, red), sejatinya tidak didasarkan pada alasan legal atau ilegalnya pendirian rumah ibadah,” terangnya.
Selama ini, lanjut dia, beberapa rumah ibadah yang telah memenuhi syarat administratif masih mengalami penolakan. Padahal sebagai negara hukum (rechtstaat, red), terdapat mekanisme hukum untuk menyatakan ‘ketidaksetujuan’ sebagai jalan beradab. “Keberulangan konflik atas nama agama, salah satunya disebabkan karena negara masih tunduk pada kehendak-kehendak kelompok intoleran,” urainya.
Ia menganggap pemerintah tingkat pusat, terutama di daerah, sering menjadi aktor pelarangan dengan alasan keamanan dan ketertiban umum. Padahal, disadari tindakan demikian memecah belah persatuan bangsa yang saling menghargai dan menghormati perbedaan, melanggar hukum dan hak asasi manusia. “Kepala-kepala daerah yang berdiri tegak menjamin pelaksanaan hak asasi warga negara untuk beribadah sebagai tanggung jawab konstitusional tentu patut diapresiasi,” ujar Sugeng.
Atas dasar itu, YSK menganggap bahwa menguatnya sikap intoleran masyarakat dan terbitnya kebijakan yang diskriminatif oleh pemerintah juga disebabkan fokus advokasi masih lebih banyak diarahkan pada kelompok masyarakat kelas menengah di perkotaan.
Sedangkan masyarakat kelas menengah ke bawah di wilayah menengah perkotaan seperti Bogor, Bekasi, Depok dan Tangerang, kurang mendapat perhatian serius. “Kekosongan advokasi pada kelas dan wilayah menengah ke bawah ini justru cenderung dimanfaatkan kelompok-kelompok intoleran untuk menyebarkan kebencian dan permusuhan sesama warga yang berbeda suku, agama, kelompok keyakinan dan kepercayaan,” tandasnya.
(*/ feb/run