Sebuah gubuk reyot jadi saksi bisu kisah seorang nenek yang tinggal satu atap dengan makam suaminya. Di Kampung Kubang, RW 07, Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, di sanalah wanita renta, Mak Onih (96), tinggal sebatang kara. Ia masih setia menjaga wasiat suaminya, Eno, yang lebih dulu berpulang ke Rahmatullah. Lima belas tahun Mak Onih memelihara makam suaminya yang sengaja ditempatkan di samping kamar tidurnya.
KISAH Mak Onih di gubuk reyotnya jadi potret cinta sehidup semati sepasang suami istri. Meski suaminya telah meninggal, Mak Onih bersikukuh tinggal di gubuknya bersama makam suami. Ditemui di rumahnya, nenek yang masih berjualan camilan selai pisang itu masih terngiang-ngiang ucapan sang suami sebelum meninggal.
Dengan mata berkaca-kaca, Mak Onih menceritakan soal wasiat yang hingga kini terus dipegangnya. Bahkan, ia rela tidur di samping makam suaminya yang sengaja dibuat berdampingan dengan kamar tidurnya Sebuah ruang khusus begitu apik ia jaga dan rawat. Sampai-sampai ia tak rela meninggalkan rumah peninggalan suaminya. “Bapak hanya ingin dikubur di sini, karena itu wasiatnya. Makanya saya dan keluarga sepakat mewujudkan apa yang dipinta,” ungkap Mak Onih sambil menunjukkan makam suaminya.
Di mata Mak Onih, suaminya adalah sosok imam yang baik. Ia pun tak keberatan harus menempati gubuk reyot bersama makam suami tercintanya, meski anaknya sudah berkali-kali memintanya keluar dari gubuk itu. “Anak saya pernah mengajak tinggal di rumahnya, tapi tidak betah. Pikiran saya selalu teringat bapak. Tidak tega meninggalkannya sendiri di rumah,” akunya dengan nada lirih.
Ketua RW 07 Tata mengatakan, Mak Onih sudah pernah dibujuk pindah ke tempat yang lebih layak. Tetapi lagi-lagi ia selalu menolak. “Sebetulnya kami sudah berupaya memindahkan Mak Onih ke tempat lain tapi selalu menolak karena mungkin saking setianya. Entah kenapa dia selalu merasa di rumahnya ada makam suaminya yang memang tak mau ia tinggalkan,” jelas Tata.
Kepala Desa Banjarwaru IIp Syaripudin mengaku prihatin dengan keadaan rumah Mak Onih. Sebab, rumah itu tak pernah tersentuh bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH). Rupanya, selama ini Mak Onih menempati bangunan di atas lahan milik perusahaan. Ini yang membuat pihak desa tak bisa mengeksekusinya. “Kalau saja tanahnya bukan milik orang lain, mungkin sudah sejak dulu dapat bantuan. Tetapi kami dan masyarakat akan berupaya memperbaiki dengan dana swadaya,” tandasnya.
(ash/c/feb/run)